KENDALA-KENDALA DALAM MENCAPAI TUJUAN PENDIDIKAN PROGRAM DIPLOMA
Yohanes Suraja
ASMI Santa Maria Yogyakarta
ABSTRACT
The goal of diploma or professional program in higher education institutions is to prepare students have the ability to apply the science and skill according to each of their department program. But the fact shows that there is a bias in that goal achievement. Most of the diploma program at the higher education institutions have students with low quality after they passed. This is not suitable with the expectation of the organizations or industries. There are many factors correlating with the failure of higher educations in Indonesia preparing the quality of their students. Those factors are the low lecturers quality, the low management skill of high education institutions, proportions of process learning that show more theoretical aspects than practical ones, and the low of funding capability for operation and management process of most the high education program. Those factors have to be increased to improve the quality level of the professional education goal achievement in the future.
Key words : tujuan pendidikan, kualitas dosen, kemampuan manajemen, proporsi
pengajaran teori dan praktek, kemampuan pembiayaan.
A. Pendahuluan
Tulisan ini memfokuskan pada masalah kendala-kendala dalam mencapai tujuan pendidikan diploma. Mengidentifikasi kendala-kendala yang berkaitan dengan upaya mencapai pendidikan diploma menjadi hal yang penting dan dengan demikian harus diperhatikan oleh penyelenggara, pengelola dan pelaku pendidikan karena ini menjadi usaha awal yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan jenis pendidikan program diploma.
Pendidikan program diploma merupakan pendidikan profesional yang diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Ini berbeda dengan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan (lihat pasal 4 dan 5 PP Nomor 60 Tahun 1999). Meskipun pada pasal 2, tujuan pendidikan tinggi seakan tidak dibedakan. Disebutkan tujuan pendidikan tinggi adalah (a) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; (b) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau keseniaan serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Artinya pendidikan akademik dan profesionalpun masing-masing dapat mengorientasikan mahasiswanya sehingga mampu menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; serta mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau keseniaan serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Namun demikian penulis memandang lebih baik dan benar apabila pendidikan program diploma atau pendidikan profesional diarahkan pada kesiapan setiap mahasiswa atau lulusannya untuk menerapkan keahlian tertentu, menurut program studinya masing-masing.
Selama ini ada kesan kuat terjadi bias arah hasil pendidikan profesional dari yang diharapkan. Menurut pengamatan penulis, tidak terfokusnya arah pendidikan program diploma pada kesiapan mahasiswa untuk menerapkan keahlian tertentu menurut program studinya masing-masing ini merupakan masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan profesional di Indonesia. Tidak banyak dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari apabila disebut perguruan tinggi yang menyelenggarakan program diploma dan tetap konsentrasi pada kesiapan penerapan keahlian tertentu bagi para mahasiswanya setelah lulus. Sehingga lulusan dari banyak perguruan tinggipun tidak memenuhi spesifikasi kebutuhan pasar kerja yang dipersyaratkan perusahaan, kalah bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi domestik ataupun dari luar negeri yang kualitasnya lebih baik (unggul). Ini merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan tinggi, yang oleh Soehendro (1996, 126) dikatakan sebagai “belum ada kesepadanan meliputi sistem secara keseluruhan antara bidang keahlian dan kemampuan lulusan dengan dunia kerja”. Masalah ini merupakan bagian dari “masalah mutu pendidikan kita yang masih rendah” seperti diungkapkan oleh Sudarminta (dalam Atmadi dan Setiyaningsih, 2000 : 9).
Banyak faktor yang terkait dengan permasalahan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan program diploma atau profesional tersebut. Dari masalah besar yang ditemukenali Soehendro (1996, 125) dalam meningkatan relevansi dan kualitas pendidikan S-1 dan diploma, dapat diidentifikasi bahwa kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teori dan praktek, dan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor-faktor yang terkait dengan pencapaian tujuan pendidikan. Faktor-faktor tersebut menjadi pisau analisis untuk mengkritisi atau melakukan pembahasan atas permasalahan tersebut di atas dalam tulisan ini. Karena faktor-faktor tersebut keadaannya di Indonesia lebih memuat nilai yang bermasalah maka dalam tulisan ini penulis memandangnya sebagai kendala-kendala atau faktor penghambat dalam mencapai tujuan pendidikan program diploma.
B. Pembahasan
Pendidikan dipandang dan diharapkan menjadi sarana dan jalan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Sebab melalui proses pendidikan baik pengajaran, pelatihan, pendampingan maupun pembimbingan, peserta didik mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, dukungan dan arahan dari pengajarnya. Pengetahuan yang diajarkan dan dipelajari secara mendalam dan luas, membuat peserta didik kaya pengetahuan yang penting sebagai referensi melaksanakan tugas, menghadapi dan menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan kehidupan personal, sosial ataupun pekerjaan. Pelatihan atau praktikum di samping memberikan ketrampilan kerja peserta didik sekaligus juga memberikan pengetahuan, terutama ketika dilakukan upaya penyadaran, pemaknaan, refleksi dan evaluasi terhadap keseluruhan sistem pelatihan atau praktikum. Yang tidak boleh dilupakan oleh pengajar dalam proses pengajaran dan pelatihan di samping penyampaian pengetahuan dan kesempatan berlatih atau praktik, adalah menunjukkan contoh, memberikan, dan mengembangkan cara atau metode berpikir peserta didik.
Kiranya lengkap dan mungkin sempurna apabila dari proses pengajaran dan pelatihan dapat dibangun dan dikembangkan kebiasaan memperkaya pengetahuan, meningkatkan ketrampilan dan cara berpikir ilmiah yang penting untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia kita. Di samping itu, kedewasaan emosional dan kerohanian peserta didik juga harus diperhatikan melalui pendidikan agama, religiositas, moral dan kepribadian, pemberian kesempatan pengembangan bakat dan minat mahasiswa melalui kegiatan intra dan ekstra kurikuler. Pengetahuan, ketrampilan, dan cara berpikir, kedewasaan emosional dan kerohaniaan tersebut dapat digunakan untuk hidup, bekerja, menghadapi permasalahan yang ada dan mengembangkan hidup dan kehidupan untuk kesejahteraan seluruh manusia dan lingkungannya.
Kekayaan, keluasan dan kedalaman pengetahuan, ketrampilan, cara berpikir, kedewasaan emosional dan kerohanian ini merupakan dimensi-dimensi pokok tujuan pendidikan pada umumnya, khususnya pendidikan program diploma, yang harus menjadi cita-cita, arah, tujuan ataupun sasaran dari keseluruhan program dan proses pendidikan. Tetapi kondisi yang diidealkan itu, di dalam kenyataan penyelenggaraan, manajemen dan operasional pendidikan program diploma di Indonesia masih memprihatinkan dan bermasalah seperti telah diungkapkan di atas. Di mana “lulusan perguruan tinggi masih lemah …dan sulit menetapkan tujuan setelah mereka selesai menempuh pendidikan” (Suyanto, dalam Kompas, 26 Nopember 2004). Sehingga wajar pula kalau Luluhima (Kompas, 23 Mei 2003) mengungkapkan bahwa “kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia termasuk terbelakang di Asia Tenggara. Hal ini menjadi kendala bagi terciptanya angkatan kerja yang berpengetahuan (knowledge workforce) yang merupakan persyaratan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan”.
Permasalahan perguruan tinggi, khususnya yang menyelenggarakan pendidikan program diploma atau profesional yang menjadi fokus tulisan ini, dalam mencapai tujuannya tersebut tidak boleh dibiarkan dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang berkualitas dan dihormati di antara berbagai bangsa di dunia. Secara mikro dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggara dan pengelola perguruan tinggi, hendaknya menyadari permasalahan tersebut, dan kemudian menentukan strategi guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Sebab “eksistensi dan perkembangan perguruan tinggi tergantung pada kesadaran dan peningkatan mutu” ( Luthfi Hasan, Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2004).
Untuk memecahkan masalah pendidikan, khususnya untuk melakukan perubahan menjadi perguruan tinggi yang bermaksud mengelola dan melaksanakan pendidikan program diploma atau profesional, yang memiliki tujuan atau arah para peserta didik atau lulusannya memiliki kesiapan penerapan keahlian tertentu, berpengetahuan mendalam dan luas serta berketrampilan (berkualitas baik), maka berbagai faktor yang selama ini menjadi kendala atau faktor penghambat harus mendapat perhatian dari setiap unsur yang terkait dan berkepentingan. Seperti telah dikatakan di atas faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teori dan praktek, dan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
Kualitas Dosen
Dosen adalah seorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan (PP RI No. 60 Tahun 1999, Pasal 101, Ayat 2). Dari pengertian itu jelas bahwa tugas utama dosen adalah mengajar. Di samping itu, dosen juga mempunyai tugas penelitian, pengabdian masyarakat (ketiga tugas tersebut merupakan tri dharma perguruan tinggi atau bidang akademik), dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya menunjang kemajuan kegiatan tri dharma atau akademik itu.
Hornby (1986, 685-686) mengartikan kualitas sebagai tingkat kebaikan dan pemilikan nilai. Dengan mempertimbangkan pengertian dosen dan tugas-tugas akademik tersebut di atas maka kualitas dosen dapat dilihat sebagai tingkat kebaikan atau kepemilikan keahlian dan keberhasilan dosen dalam melaksanakan tugas tri dharma perguruan tinggi. Dengan demikian kualitas dosen dapat diukur dari segi-segi keahlian dan kinerjanya dalam pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan penunjang.
Keahlian pengajaran adalah kecakapan dosen menyampaikan materi dan membentuk sikap mahasiswa. Dosen tidak boleh kehilangan fokus, tujuan, dan evaluasi dalam setiap mata kuliah yang disampaikan agar kuliah yang diberikan mampu memberikan pengaruh kepada mahasiswa. Untuk itu penting penguasaan dosen pada teknologi dan pengayaan metode pengajaran (Suyanto, Kompas, 26 Nopember 2004). Sayangnya, menurut Mubyarto (Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003) kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang dibandingkan dengan luar negeri, salah satu sebabnya yaitu rendahnya kualitas pengajaran, dan ini berarti kurangnya kualitas dosen.
Selain berkemampuan mengajar, dosen perlu mempunyai kekuatan cinta dan juga menghibur atau edutainment (Eko Budihardjo, Kompas, 21 Juli 2003). Supriyoko (Kompas, 19 Mei 2003) mendeskripsikan bahwa di Jepang dalam mendidik guru perlu disemangati dengan kasih sayang (love and affection), ikhlas (sincerely), jujur (honesty), keagamaan (spiritual) sehingga suasana belajar berada dalam suasana kekeluargaan (family atmosphere), yang dalam konsep Ki Hajar Dewantara suasana kekeluargaan tersebut disebut sistem among. Dalam sistem among, pamong (guru) dalam memerankan fungsinya untuk TK-SD, SMTP, SMU, SMK dan PT tidak dibatasi jadwal ketat waktu mengajar. Seorang pamong tidak dibatasi tempat mengajar. Dalam mendidik harus menyediakan waktu 24 jam per hari. Kapan saja anak didik perlu bantuan, pamong harus membantunya, baik di sekolah, rumah atau di mana saja sebatas masih dalam koridor pendidikan dan tanpa mengaburkan kewajiban keluarga dan sosial lainnya.
Dalam bidang penelitian keahlian dosen terlihat pada kinerja penelitiannya. Kinerja penelitian dosen dapat diukur dari hasil penelitian dan pemikiran yang dipublikasikan atau disajikan, hasil penerjemahan atau saduran buku ilmiah, penyuntingan karya ilmiah, pembuatan rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan, dan pembuatan rancangan dan karya teknologi, karya seni monumental, seni pertunjukan dan sastra (lihat Lampiran II Kepmenneko Bidang Wasbang dan PAN, No. 38/Kep/MK. WASPAS/8/1999). Masalahnya adalah bahwa masyarakat ilmiah di Indonesia belum memiliki budaya riset (Terry Mart, Kompas, Maret 2005). Rendahnya budaya penelitian di kalangan dosen jelas berpengaruh pada rendahnya kualitas pengajaran. Mubyarto (ibid.) mengatakan pengajaran yang tanpa atau tidak disertai penelitian, pengajarannya deduktif semata.
Dalam bidang pengabdian kepada masyarakat pun dosen harus meningkatkan keaktifannya, sehingga keahliannya tidak hanya diberikan kepada mahasiswanya saja tetapi dirasakan manfaatnya pula oleh masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan deskripsi dan penjelasan tersebut, diusulkan agar setiap penyelenggara dan pengelola pendidikan program diploma atau profesional, untuk meningkatkan kualitas dosen dengan memberi kesempatan studi lanjut, meningkatkan dan mengontrol secara efektif pelaksanaan tugas pengajaran, dan memberi dukungan pelaksanaan dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang kesemuanya akan berpengaruh pada peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan, dengan lulusan yang mempunyai keahlian penerapan ilmu pengetahuan dan ketrampilan sesuai program studinya masing-masing.
Kemampuan Manajemen Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah organisasii nirlaba. Organisasii nirlaba, seperti halnya bisnis, harus dikelola secara serius dan profesional. Namun Peter Drucker seperti dikutip oleh Hunger dan Wheelen (2001, 531) menyaksikan bahwa dua puluh tahun yang lalu, manajemen dianggap bisnis dan kotor oleh mereka yang terlibat dalam organisasi nirlaba. Meskipun sekarang kebanyakan dari mereka mempelajari bahwa organisasi nirlaba membutuhkan manajemen, namun kegamangan dan pertimbangan nilai-nilai yang jauh dari rasionalitas manajemen masih sering dirasakan atau dialami. Penerapan manajemen yang tidak total dan profesional di perguruan tinggi menyebabkan perguruan tinggi tidak berfungsi efektif dan efisien, dan tidak dapat (sulit) dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan teknologi dan kebutuhan perusahaan dan masyarakat.
Permasalahan yang disinyalir Soehendro (1996 : 126) bahwa sistem belum mampu memanfaatkan kapasitas dan waktu staf akademik secara penuh waktu untuk menyelennggarakan fungsi perguruan tinggi, waktu rata-rata penyelesaian studi yang masih terlalu panjang, kurangnya perhatian pengembangan staf pengajar berkualifikasi S-2/S-3, belum memadainya upaya yang terencana dalam mengembangkan program studi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini menunjukkan kelemahan manajemen perguruan tinggi yang jika dibiarkan jelas menjadi kendala bagi upaya optimalisasi pencapaian tujuan pendidikan tinggi, khususnya dalam hal ini bagi pendidikan program diploma.
Kemampuan manajemen perguruan tinggi yang merupakan otoritas untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang dimaksudkan untuk optimalisasi pengembangan dan penggunaan sumberdaya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tinggi, harus dimiliki oleh para penyelenggara dan pengelola perguruan tinggi. Jika mereka yang bertanggungjawab terhadap fungsi penyelenggaraan dan manajemen perguruan tinggi, mempunyai kemampuan manajemen maka mereka minimal akan mampu memanfaatkan semua sumberdaya internal bagi pencapaian tujuan pendidikan yang optimal. Mereka tentu juga akan terus mengeksplorasi sumberdaya dari dalam dan luar institusi, dan mengembangkan kerjasama secara luas demi pengembangan eksistensi perguruan tingginya. Oleh karena itu didalam proses pemilihan, penunjukan, atau pengangkatan para personil struktural untuk keperluan penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi, pertimbangan yang dibuat jangan hanya kepentingan politis dan pemenuhan selera pribadi, tetapi lebih penting lagi adalah pertimbangan kemampuan ketrampilan teknis, konseptual, manusiawi, pemilikan visi, etika, dan kepekaan menanggapi keanekaragaman budaya atau kebiasaan organisasi (Oetomo, 2002, 6-7).
Edward Deming seperti dikutip McLeod (1996, 103) mengatakan bahwa yang menentukan kualitas adalah manajemen dan bukan pekerja. Oleh karena itu setiap perguruan tinggi perlu berusaha memiliki manajemen yang kuat, yang mampu menggerakkan para dosen, staf administrasi dan pegawainya yang lain untuk memanfaatkan perlengkapan dan peralatan kerja yang ada, untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada mahasiswa, agar dapat melakukan studi sebaik-baiknya dan lulus dengan kesanggupan menerapkan keahliannya secara optimal.
Proporsi Pengajaran Teori dan Praktek
Tujuan pendidikan tinggi, khususnya yang dimaksudkan dalam tulisan ini tujuan pendidikan program diploma atau profesional, diusahakan pencapaiannya melalui fungsi akademik atau tri dharma, terutama melalui kegiatan pendidikan, baik pengajaran, praktikum atau latihan yang menjadi tugas utama dosen.
Pendidikan program diploma jelas berbeda, dan harus berbeda dengan pendidikan akademik karena tujuannya mempunyai tekanan prioritas yang tidak sama. Seperti dikemukakan di atas, pendidikan program diploma diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian tertentu sedangkan pendidikan akademik diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
Mempertimbangkan arah pendidikan tersebut, seharusnya pengajaran teori dan praktek antara kedua tipe pendidikan tinggi tersebut tidak sama. Pada pendidikan program diploma seharusnya proporsi pengajaran teoritis lebih kecil daripada pengajaran praktik. Perbandingan yang biasa dikemukakan antara pengajaran teori dan praktik yaitu 40 : 60. Jika setiap pengajar memperhatikan rasio tersebut untuk setiap mata kuliah yang diasuh, dengan proporsi pengajaran praktek minimal 60% maka dapat diproyeksikan bahwa para peserta didik relatif akan memiliki keahlian untuk menerapkan ilmu dan ketrampilan sesuai dengan bidang studinya.
Namun yang terjadi di lapangan rupanya tidak (belum) seperti yang diharapkan tersebut. Soehendro (1996, 126) mensinyalir fraksi pengajaran melalui praktikum masih rendah dibandingkan dengan pendidikan tinggi di negara yang maju. Fakta ini jelas menjadi kendala pencapaian tujuan pendidikan program diploma.
Faktor utama yang menjadi sebab rendahnya pengajaran praktikum di lembaga pendidikan adalah mahalnya sarana dan prasarana, dan latar belakang pendidikan dari dosen yang diangkat di lembaga pendidikan profesional yang berasal dari program S-1. Sarana dan prasarana praktikum yang mahal di satu sisi, sedangkan perguruan tinggi yang bersangkutan secara finansial tidak mampu, karena pungutan biaya pendidikan dari mahasiswa rendah apalagi ditambah jumlah mahasiswa yang tidak banyak, semua ini menjadi kambing hitam buramnya perguruan tinggi di tanah air. Sedangkan tenaga pengajar di pendidikan profesional yang berlatar belakang murni S-1, memang sesungguhnya tidak sesuai. Sebab kebiasaan sistem pengajaran yang diterima ketika studi pada S-1 sangat banyak aspek teoritisnya, terbawa dan tidak mudah diubah ketika melakukan fungsi pengajaran di pendidikan program diploma.
Untuk memperbaiki kendala ini, maka pihak penyelenggara dan pengelola lembaga pendidikan program profesional harus berusaha mengadakan sarana dan prasarana praktikum yang memadai, mengajukan bantuan kepada lembaga donor, perusahaan atau pemerintah c.q. Depdiknas atau Depnaker, yang mungkin dapat membantu pengadaan alat praktikum, lebih meningkatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan lain dan perusahaan yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih banyak untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa melakukan latihan kerja termasuk menggunakan peralatan dan perlengkapan kerjanya.
Dalam rangka perekrutan tenaga pengajar yang sesuai kebutuhan pendidikan profesional, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan program diploma sebaiknya mulai merekrut lulusannya sendiri dan perguruan tinggi lain yang sejenis dengan memperhatikan potensi kemampuan melaksanakan tri dharma. Sedangkan tenaga pengajar lulusan S-1 harus berusaha merancang pengajarannya dengan memperhatikan aspek praktikumnya, dan memperkaya kemampuan lapangan dengan meningkatkan keaktifan dan kinerjanya di bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Di samping perlu menambah frekuensi studium generale dari para praktisi yang relevan dengan program studi.
Kemampuan Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan
Uang dalam organisasi dan manajemen dipandang sebagai salah satu unsur sumber daya yang diperlukan untuk membiayai proses dan seluruh elemen pelaksanaan kegiatan. Untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan operasional pendidikan, setiap perguruan tinggi juga harus menyediakan dan mengeluarkan sejumlah uang. Oleh karena itu setiap penyelenggara pendidikan tinggi harus memiliki kemampuan pembiayaan yang berupa atau bernilai uang yang memadai untuk memelihara dan mengembangkan pelayanan pendidikannya yang baik.
Tentang masalah keuangan ini Supriyoko (Kompas, 19 Mei 2003) mengatakan bahwa untuk dapat meraih standard kinerja pendidikan minimal tentu diperlukan dukungan finansial yang tidak kecil. Pendidikan memang mahal (Kompas, 17 Juni 2003) dan dengan demikian perlu dana besar (Mubyarto, dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003). Dan menurut Suparta (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 2003) biaya pendidikan memang harus mahal dan akan cenderung makin mahal karena sejumlah alasan seperti pendidikan merupakan proses investasi yang mengandung faktor ketidakpastian dan risiko, pendidikan perlu sarana dan prasarana yang makin mahal, dan pendidikan adalah proses riset dan pengembangan yang perlu biaya tidak murah.
Sedemikian problematis masalah keuangan lembaga pendidikan di Indonesia ini. Fakta disadari butuhnya dana yang besar untuk membiaya pelaksanaan program pendidikan yang baik, tetapi fakta juga menunjukkan bahwa pada umumnya lembaga pendidikan tinggi di Indonesia mempunyai masalah ketidakmampuan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi ini. Pemerintah yang semula menjadi tulang punggung atau kekuatan keuangan sekolah dan perguruan tinggi negeri, dan sumber daya subsidi swasta, sekarang baru menghadapi problem keuangan negara yang tidak ringan. Sedangkan perguruan tinggi swasta, mengalami penurunan jumlah mahasiswa karena pengaruh implementasi kebijakan otonomi daerah, sehingga setiap daerah memiliki perguruan tinggi sendiri yang pasti menyedot putra-putri daerahnya sendiri sebagai mahasiswa. Kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan yang mendorong orangtua untuk menyekolahkan putra-putrinya di daerah asal dengan alasan efisiensi biaya studi dan hidup juga mengurangi jumlah mahasiswa di banyak perguruan tinggi. Sedangkan mahasiswa adalah sumber keuangan tunggal bagi kebanyakan perguruan tinggi swasta. Penurunan mahasiswa yang besar, berdampak signifikan pada ketidakmampuan keuangan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Dalam situasi ketidakmampuan keuangan demikian, mustahil bagi perguruan tinggi untuk mengadakan perbaikan proses pengajaran, perbaikan laboratorium, mendanai penelitian, memberikan insentif prestasi kerja unsur akademik dan administrasi secara mandiri dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas lulusan peserta didik, tanpa bantuan dari pihak lain seperti pemerintah dan unsur dunia usaha. Dunia usaha harus melihat masalah pendidikan tinggi ini, dan mau membantunya. Sebab, menurut Indrajati Sidhi (Bernas, 10 Juni 2003) investasi pendidikan juga tanggungjawab dunia usaha, tidak hanya mengandalkan pada dana APBN/APBD. Pepatah siapa menabur, menuai, berlaku di sini, yaitu dunia usaha yang ikut serta membantu proses pendidikan tinggi, kelak akan dapat menuai dan menggunakan lulusan untuk bekerja, memberikan kontribusi keahliannya di perusahaan.
C. Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan pendidikan program diploma di atas, dapatlah dikatakan bahwa berbagai kendala yang bersumber pada kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teoritis dan praktik, dan kemampuan pembiayaan perguruan tinggi harus mendapatkan perhatian pihak penyelenggara, pengelola, pelaku pendidikan di setiap perguruan tinggi, di samping juga perhatian dan bantuan pihak pemerintah selaku pengendali sistem pendidikan nasional, dan dunia usaha yang ikut menggunakan keahlian dari para lulusan pendidikan tinggi. Keprihatinan terhadap rendahnya kualitas lulusan hanya dapat terobati jika berbagai kendala tersebut dapat diperbaiki keadaannya, tanpa menutup kemungkinan adanya faktor penghambat lain yang juga harus ditangani demi peningkatan kualitas sumber daya manusia di negara kita, sehingga mampu bersaing dan dihargai sederajat dengan sumber daya manusia di antara berbagai bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko, “Gonjang-Ganjing Pendidikan”, Kompas, 21 Juli 2003
Hornby, AS, 1986, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, University Printing House, Oxford
Hungeer, David, J., Thomas L. Wheelen, 2001, Manajemen Strategis, Penerbit ANDI, Yogyakarta
Mart, Terry, “Manajemen Riset Kita Salah!”, Kompas, Maret 2005
McLeod, Raymond, Jr., 1996, Sistem Informasi Manajemen, Jilid I, Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., PT. Prenhallindo, Jakarta
Mubyarto, “Kualitas Pendidikan Kita”, Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003
Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, 2002, Perencanaan & Pembangunan Sistem Informasi, Penerbit ANDI, Yogyakarta
Soehendro, Bambang, 1996, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta
Sudarminta, J, “Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga” dalam Atmadi, A., Setiyaningsih, Y. (ed.), 2000, Transformasii Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, Penerbitan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Suparta, Gede Bayu, “Biaya Pendidikan Memang Harus Mahal”, Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 2003
Supriyoko, “Pentingnya Roh Pendidikan”, Kompas, 19 Mei 2003
Suyanto, “Perlu, Kecakapan Dosen untuk Hasilkan Mahasiswa Berkualitas”, Kompas, 26 Nopember 2004