Rabu, 01 Februari 2012

TUJUAN PENDIDIKAN PROGRAM DIII

KENDALA-KENDALA DALAM MENCAPAI TUJUAN PENDIDIKAN PROGRAM DIPLOMA

Yohanes Suraja
ASMI Santa Maria Yogyakarta


ABSTRACT

The goal of diploma or professional program in higher education institutions is to prepare students have the ability to apply the science and skill according to each of their department program. But the fact shows that there is a bias in that goal achievement. Most of the diploma program at the higher education institutions have students with low quality after they passed. This is not suitable with the expectation of the organizations or industries. There are many factors correlating with the failure of higher educations in Indonesia preparing the quality of their students. Those factors are the low lecturers quality, the low management skill of high education institutions, proportions of process learning that show more theoretical aspects than practical ones, and the low of funding capability for operation and management process of most the high education program. Those factors have to be increased to improve the quality level of the professional education goal achievement in the future.

Key words : tujuan pendidikan, kualitas dosen, kemampuan manajemen, proporsi
pengajaran teori dan praktek, kemampuan pembiayaan.

A. Pendahuluan
Tulisan ini memfokuskan pada masalah kendala-kendala dalam mencapai tujuan pendidikan diploma. Mengidentifikasi kendala-kendala yang berkaitan dengan upaya mencapai pendidikan diploma menjadi hal yang penting dan dengan demikian harus diperhatikan oleh penyelenggara, pengelola dan pelaku pendidikan karena ini menjadi usaha awal yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan jenis pendidikan program diploma.
Pendidikan program diploma merupakan pendidikan profesional yang diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Ini berbeda dengan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan (lihat pasal 4 dan 5 PP Nomor 60 Tahun 1999). Meskipun pada pasal 2, tujuan pendidikan tinggi seakan tidak dibedakan. Disebutkan tujuan pendidikan tinggi adalah (a) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; (b) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau keseniaan serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Artinya pendidikan akademik dan profesionalpun masing-masing dapat mengorientasikan mahasiswanya sehingga mampu menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; serta mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau keseniaan serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Namun demikian penulis memandang lebih baik dan benar apabila pendidikan program diploma atau pendidikan profesional diarahkan pada kesiapan setiap mahasiswa atau lulusannya untuk menerapkan keahlian tertentu, menurut program studinya masing-masing.
Selama ini ada kesan kuat terjadi bias arah hasil pendidikan profesional dari yang diharapkan. Menurut pengamatan penulis, tidak terfokusnya arah pendidikan program diploma pada kesiapan mahasiswa untuk menerapkan keahlian tertentu menurut program studinya masing-masing ini merupakan masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan profesional di Indonesia. Tidak banyak dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari apabila disebut perguruan tinggi yang menyelenggarakan program diploma dan tetap konsentrasi pada kesiapan penerapan keahlian tertentu bagi para mahasiswanya setelah lulus. Sehingga lulusan dari banyak perguruan tinggipun tidak memenuhi spesifikasi kebutuhan pasar kerja yang dipersyaratkan perusahaan, kalah bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi domestik ataupun dari luar negeri yang kualitasnya lebih baik (unggul). Ini merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan tinggi, yang oleh Soehendro (1996, 126) dikatakan sebagai “belum ada kesepadanan meliputi sistem secara keseluruhan antara bidang keahlian dan kemampuan lulusan dengan dunia kerja”. Masalah ini merupakan bagian dari “masalah mutu pendidikan kita yang masih rendah” seperti diungkapkan oleh Sudarminta (dalam Atmadi dan Setiyaningsih, 2000 : 9).
Banyak faktor yang terkait dengan permasalahan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan program diploma atau profesional tersebut. Dari masalah besar yang ditemukenali Soehendro (1996, 125) dalam meningkatan relevansi dan kualitas pendidikan S-1 dan diploma, dapat diidentifikasi bahwa kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teori dan praktek, dan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor-faktor yang terkait dengan pencapaian tujuan pendidikan. Faktor-faktor tersebut menjadi pisau analisis untuk mengkritisi atau melakukan pembahasan atas permasalahan tersebut di atas dalam tulisan ini. Karena faktor-faktor tersebut keadaannya di Indonesia lebih memuat nilai yang bermasalah maka dalam tulisan ini penulis memandangnya sebagai kendala-kendala atau faktor penghambat dalam mencapai tujuan pendidikan program diploma.

B. Pembahasan
Pendidikan dipandang dan diharapkan menjadi sarana dan jalan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Sebab melalui proses pendidikan baik pengajaran, pelatihan, pendampingan maupun pembimbingan, peserta didik mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, dukungan dan arahan dari pengajarnya. Pengetahuan yang diajarkan dan dipelajari secara mendalam dan luas, membuat peserta didik kaya pengetahuan yang penting sebagai referensi melaksanakan tugas, menghadapi dan menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan kehidupan personal, sosial ataupun pekerjaan. Pelatihan atau praktikum di samping memberikan ketrampilan kerja peserta didik sekaligus juga memberikan pengetahuan, terutama ketika dilakukan upaya penyadaran, pemaknaan, refleksi dan evaluasi terhadap keseluruhan sistem pelatihan atau praktikum. Yang tidak boleh dilupakan oleh pengajar dalam proses pengajaran dan pelatihan di samping penyampaian pengetahuan dan kesempatan berlatih atau praktik, adalah menunjukkan contoh, memberikan, dan mengembangkan cara atau metode berpikir peserta didik.
Kiranya lengkap dan mungkin sempurna apabila dari proses pengajaran dan pelatihan dapat dibangun dan dikembangkan kebiasaan memperkaya pengetahuan, meningkatkan ketrampilan dan cara berpikir ilmiah yang penting untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia kita. Di samping itu, kedewasaan emosional dan kerohanian peserta didik juga harus diperhatikan melalui pendidikan agama, religiositas, moral dan kepribadian, pemberian kesempatan pengembangan bakat dan minat mahasiswa melalui kegiatan intra dan ekstra kurikuler. Pengetahuan, ketrampilan, dan cara berpikir, kedewasaan emosional dan kerohaniaan tersebut dapat digunakan untuk hidup, bekerja, menghadapi permasalahan yang ada dan mengembangkan hidup dan kehidupan untuk kesejahteraan seluruh manusia dan lingkungannya.
Kekayaan, keluasan dan kedalaman pengetahuan, ketrampilan, cara berpikir, kedewasaan emosional dan kerohanian ini merupakan dimensi-dimensi pokok tujuan pendidikan pada umumnya, khususnya pendidikan program diploma, yang harus menjadi cita-cita, arah, tujuan ataupun sasaran dari keseluruhan program dan proses pendidikan. Tetapi kondisi yang diidealkan itu, di dalam kenyataan penyelenggaraan, manajemen dan operasional pendidikan program diploma di Indonesia masih memprihatinkan dan bermasalah seperti telah diungkapkan di atas. Di mana “lulusan perguruan tinggi masih lemah …dan sulit menetapkan tujuan setelah mereka selesai menempuh pendidikan” (Suyanto, dalam Kompas, 26 Nopember 2004). Sehingga wajar pula kalau Luluhima (Kompas, 23 Mei 2003) mengungkapkan bahwa “kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia termasuk terbelakang di Asia Tenggara. Hal ini menjadi kendala bagi terciptanya angkatan kerja yang berpengetahuan (knowledge workforce) yang merupakan persyaratan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan”.
Permasalahan perguruan tinggi, khususnya yang menyelenggarakan pendidikan program diploma atau profesional yang menjadi fokus tulisan ini, dalam mencapai tujuannya tersebut tidak boleh dibiarkan dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang berkualitas dan dihormati di antara berbagai bangsa di dunia. Secara mikro dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggara dan pengelola perguruan tinggi, hendaknya menyadari permasalahan tersebut, dan kemudian menentukan strategi guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Sebab “eksistensi dan perkembangan perguruan tinggi tergantung pada kesadaran dan peningkatan mutu” ( Luthfi Hasan, Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2004).
Untuk memecahkan masalah pendidikan, khususnya untuk melakukan perubahan menjadi perguruan tinggi yang bermaksud mengelola dan melaksanakan pendidikan program diploma atau profesional, yang memiliki tujuan atau arah para peserta didik atau lulusannya memiliki kesiapan penerapan keahlian tertentu, berpengetahuan mendalam dan luas serta berketrampilan (berkualitas baik), maka berbagai faktor yang selama ini menjadi kendala atau faktor penghambat harus mendapat perhatian dari setiap unsur yang terkait dan berkepentingan. Seperti telah dikatakan di atas faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teori dan praktek, dan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

Kualitas Dosen
Dosen adalah seorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan (PP RI No. 60 Tahun 1999, Pasal 101, Ayat 2). Dari pengertian itu jelas bahwa tugas utama dosen adalah mengajar. Di samping itu, dosen juga mempunyai tugas penelitian, pengabdian masyarakat (ketiga tugas tersebut merupakan tri dharma perguruan tinggi atau bidang akademik), dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya menunjang kemajuan kegiatan tri dharma atau akademik itu.
Hornby (1986, 685-686) mengartikan kualitas sebagai tingkat kebaikan dan pemilikan nilai. Dengan mempertimbangkan pengertian dosen dan tugas-tugas akademik tersebut di atas maka kualitas dosen dapat dilihat sebagai tingkat kebaikan atau kepemilikan keahlian dan keberhasilan dosen dalam melaksanakan tugas tri dharma perguruan tinggi. Dengan demikian kualitas dosen dapat diukur dari segi-segi keahlian dan kinerjanya dalam pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan penunjang.
Keahlian pengajaran adalah kecakapan dosen menyampaikan materi dan membentuk sikap mahasiswa. Dosen tidak boleh kehilangan fokus, tujuan, dan evaluasi dalam setiap mata kuliah yang disampaikan agar kuliah yang diberikan mampu memberikan pengaruh kepada mahasiswa. Untuk itu penting penguasaan dosen pada teknologi dan pengayaan metode pengajaran (Suyanto, Kompas, 26 Nopember 2004). Sayangnya, menurut Mubyarto (Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003) kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang dibandingkan dengan luar negeri, salah satu sebabnya yaitu rendahnya kualitas pengajaran, dan ini berarti kurangnya kualitas dosen.
Selain berkemampuan mengajar, dosen perlu mempunyai kekuatan cinta dan juga menghibur atau edutainment (Eko Budihardjo, Kompas, 21 Juli 2003). Supriyoko (Kompas, 19 Mei 2003) mendeskripsikan bahwa di Jepang dalam mendidik guru perlu disemangati dengan kasih sayang (love and affection), ikhlas (sincerely), jujur (honesty), keagamaan (spiritual) sehingga suasana belajar berada dalam suasana kekeluargaan (family atmosphere), yang dalam konsep Ki Hajar Dewantara suasana kekeluargaan tersebut disebut sistem among. Dalam sistem among, pamong (guru) dalam memerankan fungsinya untuk TK-SD, SMTP, SMU, SMK dan PT tidak dibatasi jadwal ketat waktu mengajar. Seorang pamong tidak dibatasi tempat mengajar. Dalam mendidik harus menyediakan waktu 24 jam per hari. Kapan saja anak didik perlu bantuan, pamong harus membantunya, baik di sekolah, rumah atau di mana saja sebatas masih dalam koridor pendidikan dan tanpa mengaburkan kewajiban keluarga dan sosial lainnya.
Dalam bidang penelitian keahlian dosen terlihat pada kinerja penelitiannya. Kinerja penelitian dosen dapat diukur dari hasil penelitian dan pemikiran yang dipublikasikan atau disajikan, hasil penerjemahan atau saduran buku ilmiah, penyuntingan karya ilmiah, pembuatan rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan, dan pembuatan rancangan dan karya teknologi, karya seni monumental, seni pertunjukan dan sastra (lihat Lampiran II Kepmenneko Bidang Wasbang dan PAN, No. 38/Kep/MK. WASPAS/8/1999). Masalahnya adalah bahwa masyarakat ilmiah di Indonesia belum memiliki budaya riset (Terry Mart, Kompas, Maret 2005). Rendahnya budaya penelitian di kalangan dosen jelas berpengaruh pada rendahnya kualitas pengajaran. Mubyarto (ibid.) mengatakan pengajaran yang tanpa atau tidak disertai penelitian, pengajarannya deduktif semata.
Dalam bidang pengabdian kepada masyarakat pun dosen harus meningkatkan keaktifannya, sehingga keahliannya tidak hanya diberikan kepada mahasiswanya saja tetapi dirasakan manfaatnya pula oleh masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan deskripsi dan penjelasan tersebut, diusulkan agar setiap penyelenggara dan pengelola pendidikan program diploma atau profesional, untuk meningkatkan kualitas dosen dengan memberi kesempatan studi lanjut, meningkatkan dan mengontrol secara efektif pelaksanaan tugas pengajaran, dan memberi dukungan pelaksanaan dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang kesemuanya akan berpengaruh pada peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan, dengan lulusan yang mempunyai keahlian penerapan ilmu pengetahuan dan ketrampilan sesuai program studinya masing-masing.

Kemampuan Manajemen Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah organisasii nirlaba. Organisasii nirlaba, seperti halnya bisnis, harus dikelola secara serius dan profesional. Namun Peter Drucker seperti dikutip oleh Hunger dan Wheelen (2001, 531) menyaksikan bahwa dua puluh tahun yang lalu, manajemen dianggap bisnis dan kotor oleh mereka yang terlibat dalam organisasi nirlaba. Meskipun sekarang kebanyakan dari mereka mempelajari bahwa organisasi nirlaba membutuhkan manajemen, namun kegamangan dan pertimbangan nilai-nilai yang jauh dari rasionalitas manajemen masih sering dirasakan atau dialami. Penerapan manajemen yang tidak total dan profesional di perguruan tinggi menyebabkan perguruan tinggi tidak berfungsi efektif dan efisien, dan tidak dapat (sulit) dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan teknologi dan kebutuhan perusahaan dan masyarakat.
Permasalahan yang disinyalir Soehendro (1996 : 126) bahwa sistem belum mampu memanfaatkan kapasitas dan waktu staf akademik secara penuh waktu untuk menyelennggarakan fungsi perguruan tinggi, waktu rata-rata penyelesaian studi yang masih terlalu panjang, kurangnya perhatian pengembangan staf pengajar berkualifikasi S-2/S-3, belum memadainya upaya yang terencana dalam mengembangkan program studi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini menunjukkan kelemahan manajemen perguruan tinggi yang jika dibiarkan jelas menjadi kendala bagi upaya optimalisasi pencapaian tujuan pendidikan tinggi, khususnya dalam hal ini bagi pendidikan program diploma.
Kemampuan manajemen perguruan tinggi yang merupakan otoritas untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang dimaksudkan untuk optimalisasi pengembangan dan penggunaan sumberdaya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tinggi, harus dimiliki oleh para penyelenggara dan pengelola perguruan tinggi. Jika mereka yang bertanggungjawab terhadap fungsi penyelenggaraan dan manajemen perguruan tinggi, mempunyai kemampuan manajemen maka mereka minimal akan mampu memanfaatkan semua sumberdaya internal bagi pencapaian tujuan pendidikan yang optimal. Mereka tentu juga akan terus mengeksplorasi sumberdaya dari dalam dan luar institusi, dan mengembangkan kerjasama secara luas demi pengembangan eksistensi perguruan tingginya. Oleh karena itu didalam proses pemilihan, penunjukan, atau pengangkatan para personil struktural untuk keperluan penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi, pertimbangan yang dibuat jangan hanya kepentingan politis dan pemenuhan selera pribadi, tetapi lebih penting lagi adalah pertimbangan kemampuan ketrampilan teknis, konseptual, manusiawi, pemilikan visi, etika, dan kepekaan menanggapi keanekaragaman budaya atau kebiasaan organisasi (Oetomo, 2002, 6-7).
Edward Deming seperti dikutip McLeod (1996, 103) mengatakan bahwa yang menentukan kualitas adalah manajemen dan bukan pekerja. Oleh karena itu setiap perguruan tinggi perlu berusaha memiliki manajemen yang kuat, yang mampu menggerakkan para dosen, staf administrasi dan pegawainya yang lain untuk memanfaatkan perlengkapan dan peralatan kerja yang ada, untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada mahasiswa, agar dapat melakukan studi sebaik-baiknya dan lulus dengan kesanggupan menerapkan keahliannya secara optimal.

Proporsi Pengajaran Teori dan Praktek
Tujuan pendidikan tinggi, khususnya yang dimaksudkan dalam tulisan ini tujuan pendidikan program diploma atau profesional, diusahakan pencapaiannya melalui fungsi akademik atau tri dharma, terutama melalui kegiatan pendidikan, baik pengajaran, praktikum atau latihan yang menjadi tugas utama dosen.
Pendidikan program diploma jelas berbeda, dan harus berbeda dengan pendidikan akademik karena tujuannya mempunyai tekanan prioritas yang tidak sama. Seperti dikemukakan di atas, pendidikan program diploma diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian tertentu sedangkan pendidikan akademik diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
Mempertimbangkan arah pendidikan tersebut, seharusnya pengajaran teori dan praktek antara kedua tipe pendidikan tinggi tersebut tidak sama. Pada pendidikan program diploma seharusnya proporsi pengajaran teoritis lebih kecil daripada pengajaran praktik. Perbandingan yang biasa dikemukakan antara pengajaran teori dan praktik yaitu 40 : 60. Jika setiap pengajar memperhatikan rasio tersebut untuk setiap mata kuliah yang diasuh, dengan proporsi pengajaran praktek minimal 60% maka dapat diproyeksikan bahwa para peserta didik relatif akan memiliki keahlian untuk menerapkan ilmu dan ketrampilan sesuai dengan bidang studinya.
Namun yang terjadi di lapangan rupanya tidak (belum) seperti yang diharapkan tersebut. Soehendro (1996, 126) mensinyalir fraksi pengajaran melalui praktikum masih rendah dibandingkan dengan pendidikan tinggi di negara yang maju. Fakta ini jelas menjadi kendala pencapaian tujuan pendidikan program diploma.
Faktor utama yang menjadi sebab rendahnya pengajaran praktikum di lembaga pendidikan adalah mahalnya sarana dan prasarana, dan latar belakang pendidikan dari dosen yang diangkat di lembaga pendidikan profesional yang berasal dari program S-1. Sarana dan prasarana praktikum yang mahal di satu sisi, sedangkan perguruan tinggi yang bersangkutan secara finansial tidak mampu, karena pungutan biaya pendidikan dari mahasiswa rendah apalagi ditambah jumlah mahasiswa yang tidak banyak, semua ini menjadi kambing hitam buramnya perguruan tinggi di tanah air. Sedangkan tenaga pengajar di pendidikan profesional yang berlatar belakang murni S-1, memang sesungguhnya tidak sesuai. Sebab kebiasaan sistem pengajaran yang diterima ketika studi pada S-1 sangat banyak aspek teoritisnya, terbawa dan tidak mudah diubah ketika melakukan fungsi pengajaran di pendidikan program diploma.
Untuk memperbaiki kendala ini, maka pihak penyelenggara dan pengelola lembaga pendidikan program profesional harus berusaha mengadakan sarana dan prasarana praktikum yang memadai, mengajukan bantuan kepada lembaga donor, perusahaan atau pemerintah c.q. Depdiknas atau Depnaker, yang mungkin dapat membantu pengadaan alat praktikum, lebih meningkatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan lain dan perusahaan yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih banyak untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa melakukan latihan kerja termasuk menggunakan peralatan dan perlengkapan kerjanya.
Dalam rangka perekrutan tenaga pengajar yang sesuai kebutuhan pendidikan profesional, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan program diploma sebaiknya mulai merekrut lulusannya sendiri dan perguruan tinggi lain yang sejenis dengan memperhatikan potensi kemampuan melaksanakan tri dharma. Sedangkan tenaga pengajar lulusan S-1 harus berusaha merancang pengajarannya dengan memperhatikan aspek praktikumnya, dan memperkaya kemampuan lapangan dengan meningkatkan keaktifan dan kinerjanya di bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Di samping perlu menambah frekuensi studium generale dari para praktisi yang relevan dengan program studi.

Kemampuan Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan
Uang dalam organisasi dan manajemen dipandang sebagai salah satu unsur sumber daya yang diperlukan untuk membiayai proses dan seluruh elemen pelaksanaan kegiatan. Untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan operasional pendidikan, setiap perguruan tinggi juga harus menyediakan dan mengeluarkan sejumlah uang. Oleh karena itu setiap penyelenggara pendidikan tinggi harus memiliki kemampuan pembiayaan yang berupa atau bernilai uang yang memadai untuk memelihara dan mengembangkan pelayanan pendidikannya yang baik.
Tentang masalah keuangan ini Supriyoko (Kompas, 19 Mei 2003) mengatakan bahwa untuk dapat meraih standard kinerja pendidikan minimal tentu diperlukan dukungan finansial yang tidak kecil. Pendidikan memang mahal (Kompas, 17 Juni 2003) dan dengan demikian perlu dana besar (Mubyarto, dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003). Dan menurut Suparta (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 2003) biaya pendidikan memang harus mahal dan akan cenderung makin mahal karena sejumlah alasan seperti pendidikan merupakan proses investasi yang mengandung faktor ketidakpastian dan risiko, pendidikan perlu sarana dan prasarana yang makin mahal, dan pendidikan adalah proses riset dan pengembangan yang perlu biaya tidak murah.
Sedemikian problematis masalah keuangan lembaga pendidikan di Indonesia ini. Fakta disadari butuhnya dana yang besar untuk membiaya pelaksanaan program pendidikan yang baik, tetapi fakta juga menunjukkan bahwa pada umumnya lembaga pendidikan tinggi di Indonesia mempunyai masalah ketidakmampuan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi ini. Pemerintah yang semula menjadi tulang punggung atau kekuatan keuangan sekolah dan perguruan tinggi negeri, dan sumber daya subsidi swasta, sekarang baru menghadapi problem keuangan negara yang tidak ringan. Sedangkan perguruan tinggi swasta, mengalami penurunan jumlah mahasiswa karena pengaruh implementasi kebijakan otonomi daerah, sehingga setiap daerah memiliki perguruan tinggi sendiri yang pasti menyedot putra-putri daerahnya sendiri sebagai mahasiswa. Kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan yang mendorong orangtua untuk menyekolahkan putra-putrinya di daerah asal dengan alasan efisiensi biaya studi dan hidup juga mengurangi jumlah mahasiswa di banyak perguruan tinggi. Sedangkan mahasiswa adalah sumber keuangan tunggal bagi kebanyakan perguruan tinggi swasta. Penurunan mahasiswa yang besar, berdampak signifikan pada ketidakmampuan keuangan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Dalam situasi ketidakmampuan keuangan demikian, mustahil bagi perguruan tinggi untuk mengadakan perbaikan proses pengajaran, perbaikan laboratorium, mendanai penelitian, memberikan insentif prestasi kerja unsur akademik dan administrasi secara mandiri dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas lulusan peserta didik, tanpa bantuan dari pihak lain seperti pemerintah dan unsur dunia usaha. Dunia usaha harus melihat masalah pendidikan tinggi ini, dan mau membantunya. Sebab, menurut Indrajati Sidhi (Bernas, 10 Juni 2003) investasi pendidikan juga tanggungjawab dunia usaha, tidak hanya mengandalkan pada dana APBN/APBD. Pepatah siapa menabur, menuai, berlaku di sini, yaitu dunia usaha yang ikut serta membantu proses pendidikan tinggi, kelak akan dapat menuai dan menggunakan lulusan untuk bekerja, memberikan kontribusi keahliannya di perusahaan.

C. Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan pendidikan program diploma di atas, dapatlah dikatakan bahwa berbagai kendala yang bersumber pada kualitas dosen, kemampuan manajemen perguruan tinggi, proporsi pengajaran teoritis dan praktik, dan kemampuan pembiayaan perguruan tinggi harus mendapatkan perhatian pihak penyelenggara, pengelola, pelaku pendidikan di setiap perguruan tinggi, di samping juga perhatian dan bantuan pihak pemerintah selaku pengendali sistem pendidikan nasional, dan dunia usaha yang ikut menggunakan keahlian dari para lulusan pendidikan tinggi. Keprihatinan terhadap rendahnya kualitas lulusan hanya dapat terobati jika berbagai kendala tersebut dapat diperbaiki keadaannya, tanpa menutup kemungkinan adanya faktor penghambat lain yang juga harus ditangani demi peningkatan kualitas sumber daya manusia di negara kita, sehingga mampu bersaing dan dihargai sederajat dengan sumber daya manusia di antara berbagai bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA


Budihardjo, Eko, “Gonjang-Ganjing Pendidikan”, Kompas, 21 Juli 2003

Hornby, AS, 1986, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, University Printing House, Oxford

Hungeer, David, J., Thomas L. Wheelen, 2001, Manajemen Strategis, Penerbit ANDI, Yogyakarta

Mart, Terry, “Manajemen Riset Kita Salah!”, Kompas, Maret 2005

McLeod, Raymond, Jr., 1996, Sistem Informasi Manajemen, Jilid I, Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., PT. Prenhallindo, Jakarta

Mubyarto, “Kualitas Pendidikan Kita”, Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 2003

Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, 2002, Perencanaan & Pembangunan Sistem Informasi, Penerbit ANDI, Yogyakarta

Soehendro, Bambang, 1996, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta

Sudarminta, J, “Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga” dalam Atmadi, A., Setiyaningsih, Y. (ed.), 2000, Transformasii Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, Penerbitan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Suparta, Gede Bayu, “Biaya Pendidikan Memang Harus Mahal”, Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 2003

Supriyoko, “Pentingnya Roh Pendidikan”, Kompas, 19 Mei 2003

Suyanto, “Perlu, Kecakapan Dosen untuk Hasilkan Mahasiswa Berkualitas”, Kompas, 26 Nopember 2004

KUALITAS LAYANAN ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI

UPAYA MANAJEMEN MEMPERBAIKI KUALITAS PELAYANAN ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI

Yohannes Suraja
ASMI Santa Maria Yogyakarta

Abstract

This paper is meant to explain that management of the higher education institutions i.e. the rector of university or the institute, the head of ‘sekolah tinggi’, the director of polytechnic or the academy, the dean of faculty and their assistants, and the chiefs of the administration bureaus have an obligation to increase the service quality of their administrative office. The service quality of the administrations can be seen from the form, reliability, responsiveness, accuracy, and emphaty dimensions when the service of administrative is done.

From the theoretical aspect, each of the top leaders of higher education institutions and the assistants can take the strategic planning as decision making about the goal, activities,choosing the chief of administrative office department, personnels of administrative office department and their prerequisites, and the equipments that are used to do the administrative work at their work environment.

In the faculty of each universities or institutes, the dean and his/her assistant as the middle management level at the university or institutes has to account to control the implementations of the administrative work policy of top management level. The chiefs of each administrative bureaus or departments at the higher education institutions as the manager of operational or lower management level in the administrative work have to account the perfomance of paper work (office work) in each of her/his bureaus and departments.

All of the higher education institutions management level are important to have the managership and leadership capabilities. Managership is the authority to carry out management functions, and leadership is the capability to influence the others for working to achieve the organisational goals. With those factors they can assure the increasing of the administrative office service quality at their higher education institutions.

Key words : Quality of administrative office service, the effort of the higher education institution management levels, managership, leadership capability.

A. Pendahuluan
Pelaksana administratif di perguruan tinggi menjadi suatu unsur yang harus diperhatikan keberadaannya guna mendukung dan memperlancar unsur-unsur lain yang ada di perguruan tinggi seperti dewan penyantun, pimpinan, tenaga pengajar (dosen), senat, pelaksana tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat), dan unsur penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel, kebun percobaan dan pusat komputer (lihat Pasal 27 PP 60 tahun 1999), serta mahasiswa dan masyarakat lain di dalam melaksanakan dan menyelesaikan aktivitas, fungsi, tugas dan masalah masing-masing.
Kegiatan administratif selalu menyertai unsur-unsur perguruan tinggi tersebut sebelum, sedang, dan sesudah pelaksanaan tanggungjawabnya. Menurut Geoffrey Mills dan Oliver Standingford seperti dikatakan oleh The Liang Gie (1988:25), setiap kantor (sekretariat, biro, bagian, subbagian, urusan) yang mengemban fungsi administratif itu mempunyai fungsi penyediaan suatu pelayanan komunikasi, warkat (catatan, rekaman data dan informasi), dan harta benda organisasi. Bagi perguruan tinggi, dukungan kantor sebagai pelaksana administratif dimaksudkan untuk memperlancar pelaksanaan aktivitas unsur-unsur perguruan tinggi, mahasiswa dan masyarakat yang membutuhkan.
Setiap unsur pelaksana administratif perguruan tinggi harus melaksanakan fungsinya dengan berkualitas baik-sangat baik, agar unsur-unsur perguruan tinggi tersebut, juga mahasiswa dan masyarakat yang membutuhkan pelayanannya merasa puas, karena fungsi, tugas, dan kebutuhannya sungguh dapat dipenuhi dan lancar.
Kualitas pelayanan pelaksana administratif perguruan tinggi dapat dilihat dari beberapa segi: wujud, keandalan, daya tanggap, kepastian, dan tingkat empati seperti yang dikemukakaan oleh Leonard Berry, A. Parasuraman, dan Valarie Zeithmal (McLeod, 1996, 101). Unsur-unsur perguruan tinggi seperti dewan penyantun, pimpinan, tenaga pengajar, senat, pelaksana tri dharma, unit penunjang, mahasiswa dan masyarakat yang mempunyai relasi dengan perguruan tinggi merasakan atau mengalami kualitas pelayanan pelaksana administratif dari berbagai segi tersebut. Dari segi wujudnya, apakah fasilitas (perlengkapan, peralatan) yang digunakan dalam pelayanan administratif itu jenisnya lengkap, jumlahnya cukup, keadaannya baik dan sesuai dengan perkembangan teknologi perkantoran? Apakah pegawai unsur pelaksana administratif itu memiliki performansi yang baik, mampu, andal dan mau melaksanakan tugasnya masing-masing dengan memperhatikan prosedur dan metode yang baik dan efisien? Apakah mereka melaksanakan pekerjaan secara konsisten, akurat? Apakah mereka melayani pimpinan dan unsur lain yang membutuhkan dengan cepat dan responsif? Apakah tindakan dan penampilannya sopan dan terpelajar, menampilkan kepercayaan dan keyakinan? Apakah mereka menunjukkan perhatian yang tulus kepada setiap unsur yang membutuhkan pelayanannya?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dilihat pada fakta di lapangan. Sebagai perguruan tinggi di negara yang sedang berkembang yang kualitas sumberdaya manusianya juga belum memiliki kesadaran, pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan sesuai tuntutan manajemen modern dan kebiasaan baik yang dimiliki negara maju, maka keadaan pelayanan administrasi berbagai organisasi baik pemerintah atau pun swasta, dalam hal ini khususnya pelayanan administrasi perguruan tingginya juga bervariasi dari yang kurang sampai yang sudah baik.
Menurut pengamatan penulis, tidak sedikit perguruan tinggi yang memiliki kualitas pelayanan administratif yang kurang. Ada unit administrasi perguruan tinggi yang memiliki fasilitas yang pas-pasan macamnya, jumlahnya, keadaannya dan belum sesuai dengan perkembangan teknologi perkantoran modern. Pegawai administratinya tampak tidak memiliki performansi yang baik, tidak dapat diandalkan dalam bekerja, dan bekerja menurut kemauan tanpa memperhatikan prosedur dan metode yang baik dan efisien. Mereka melaksanakan pekerjaan secara tidak konsisten dan tidak akurat. Melayani pimpinan dan unsur lain yang membutuhkan dengan lamban dan tidak responsif. Tindakan dan penampilannya tidak sopan, tidak terpelajar, tidak menampilkan kepercayaan dan keyakinan diri. Ada di antara mereka yang menunjukkan kurang perhatian yang tulus kepada setiap unsur yang membutuhkan pelayanannya, dan sebagainya.
Kualitas pelayanan unsur pelaksana administratif perguruan tinggi yang terbentang dari kontinuum tingkat rendah (tidak berkualitas) sampai dengan tingkat tinggi (sangat berkualitas) tergantung pada berbagai faktor seperti kemampuan manajemen perguruan tinggi, latar belakang pegawai, dan besarnya dukungan dana. Namun Menurut Edwards Deming (McLeod,1996:103) yang menentukaan kualitas adalah manajemen, dan bukan pekerja. Sebab kemampuan manajemen dan kepemimpinan adalah alat-alat manajemen yang digunakan manajer yang dapat mempengaruhi perilaku para pegawainya untuk mencapai tujuan organisasi (Chung dan Megginson,1981:280). Di samping itu, manajemen perguruan tinggi juga mempunyai wewenang mengerahkan fasilitas, peralatan dan perlengkapan untuk dipergunakan dalam pelayanan, dan dengan demikian menentukan kualitas pelayanan administratif perguruan tinggi pula.
Lebih lanjut tulisan ini akan menguraikan bagaimana manajemen perguruan tinggi berusaha meningkatkan kualitas pelayanan unsur pelaksana administratifnya dan faktor kemampuan apa yang mendasari manajemen memiliki orientasi dan kesanggupan untuk mengelola unsur pelaksana administratif sehingga dapat memberikan pelayanan berkualitas?

B. Pembahasan
1. Kualitas Pelayanan Pelaksana Administratif Perguruan Tinggi
Setiap perguruan tinggi baik universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik ataupun akademi mempunyai unsur pelaksana administratif. Satuan pelaksana administratif pada perguruan tinggi menyelenggarakan pelayanan teknis dan administratif yang meliputi administrasi akademik, administrasi keuangan, administrasi umum, administrasi kemahasiswaan, administrasi perencanaan dan sistem informasi. Pimpinan satuan pelaksana administratif diangkat dan bertanggungjawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan (Pasal 33).
Satuan pelaksana yang menyelenggarakan kegiatan administrasi pada universitas atau institut berbentuk biro, yang dipimpin oleh kepala biro (Pasal 55). Sedangkan di tingkat fakultas, unsur pelaksana administratif adalah bagian tatausaha (Pasal 45). Demikian juga di sekolah tinggi (Pasal 59), politeknik (Pasal 74), dan akademi (Pasal 87) unsur pelaksana administratif adalah bagian, yang kemudian disebut bagian administrasi seperti bagian administrasi akademik, bagian administrasi kemahasiswaan, bagian administrasi umum dan sebagainya.
Pelayanan administratif diberikan kepada setiap unsur yang ada di perguruan tinggi seperti dewan penyantun, pimpinan dan pembantunya, dosen, pelaksana akademik atau tri dharma perguruan tinggi, dan unsur penunjang sesuai kebutuhan masing-masing.
Seperti diungkapkan di atas, menurut Geoffrey Mills dan Oliver Standingford (dalam The Liang Gie,1988, 25) setiap kantor (sekretariat, biro, bagian, subbagian, urusan) yang mengemban fungsi administratif mempunyai fungsi penyediaan suatu pelayanan komunikasi, warkat (catatan, rekaman data dan informasi), dan harta benda organisasi. Pelayanan yang diberikan dimaksudkan untuk memperlancar pelaksanaan aktivitas unsur-unsur perguruan tinggi, mahasiswa dan masyarakat yang membutuhkan.
Konsep kualitas pelayanan pelaksana administratif perguruan tinggi dalam hal ini berkenaan dengan pelayanan komunikasi, warkat, dan pengurusan harta benda di setiap satuan (unsur) organisasi perguruan tinggi. Kualitas adalah tingkat kebaikan atau tingkat pemilikan nilai-nilai tertentu (Hornby,1986:685, 994). Dengan demikian kualitas pelayanan pelaksana administratif perguruan tinggi adalah tingkat kebaikan kepemilikan nilai-nilai dalam pelayanan komunikasi, warkat, dan pengurusan harta benda pada setiap satuan (unsur) organisasi perguruan tinggi.
Leonard Berry, A. Parasuraman, dan Valarie Zeithmal (McLeod 1996:101) mengidentifikasi dimensi-dimensi kualitas jasa yang terdiri dari wujud, keandalan, daya tanggap, kepastian dan empati.
Dimensi wujud kualitas pelayanan pelaksana administratif adalah hal-hal yang dilihat oleh pemakai jasa ketika layanan sedang dikerjakan. Ini meliputi unsur-unsur fasilitas (perlengkapan, peralatan) dan pegawai.
The Liang Gie (1988 : 243) mengklasifikasikan perbekalan (perlengkapan, peralatan) tatausaha atau kantor sebagai berikut :
a. Barang lembaran seperti kertas tik, karbon, berkas.
b. Barang bentuk lainnya seperti lim, karet penghapus, tinta.
c. Alat tulis seperti potlot, pulpen, cap nomor.
d. Alat keperluan lainnya seperti pencabut jepitan kawat, jepitan kawat, mistar, bantalan cap.
e. Mesin perkantoran misalnya mesin tik, mesin hitung, mesin stensil.
f. Perabot perkantoran seperti meja, lemari, peti besi.
g. Perlengkapan lainnya seperti lampu, permadani, kipas angin.
Meskipun beberapa perbekalan kantor yang dikemukakan di atas pada masa sekarang ini sudah tidak sesuai dan tidak dipakai, tetapi penggolongan perbekalan kantor atau pelaksana administratif tersebut bermanfaat untuk kepentingan studi dan pemahaman administrasi seperti ini. Sedangkan alat-alat dan mesin kantor modern yang bersifat elektrik seperti mesin tik, mesin hitung, mesin pengganda (fotokopi; komputer dan jaringan komputer) harus dimasukkan dalam model klasifikasi tersebut. Perbekalan unsur pelaksana administratif perguruan tinggi perlu diusahakan lengkap macamnya. Artinya, semua barang, alat, mesin, perabotan, dan perlengkapan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas administrasi tersedia sehingga operasionalisasi tugas-tugas administratif lancar dan tidak tertunda; jumlahnya mencukupi sesuai volume pekerjaan dan jumlah pegawai; kondisinya baik atau tidak rusak sehingga dapat dioperasikan; dan mengikuti perkembangan teknologi perkantoran modern seperti dibangun dan dipergunakannya sistem informasi administratif dengan jaringan komputer. Di samping itu juga perlu memiliki ruang yang memadai. Tentang persyaratan ruang ini, dalam Lampiran Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 222/U/1998 Tanggal 7 September 1998 dikemukakan bahwa persyaratan minimal sarana dan prasarana ruang kantor akademi, politeknik, dan sekolah tinggi adalah 100 meter persegi, sedangkan di institut dan universitas adalah 200 meter persegi.
Sedangkan pegawai yang merupakan unsur wujud atau hal yang dilihat oleh pemakai jasa atau layanan pelaksana administratif yang harus ada di bagian administrasi antara lain pegawai administrasi akademik; pegawai administrasi kemahasiswaan; pegawai administrasi umum yang mengurusi kepegawaian, keuangan, perbekalan, dan surat menyurat; pegawai administrasi perencanaan dan sistem informasi (bandingkan Pasal 33 PP No. 60 tahun 1999). Jadi setiap bagian administrasi harus ada pegawai yang bertanggungjawab dan melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing. Persyaratan minimal jumlah dan kualifikasi tenaga administrasi dan penunjang akademik di setiap bentuk perguruan tinggi harus diusahakan untuk dipenuhi. Tetapi juga sebaiknya tidak terlalu banyak, sehingga menyebabkan beban berat, biaya tinggi, dan menjadi salah satu sumber pemborosan sumber daya. Persyaratan minimal tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Akademi, politeknik, dan sekolah tinggi memiliki tenaga administrasi dengan jumlah minimal 3 orang, terdiri dari 1 orang berpendidikan D-III dan 2 orang berpendidikan SMTA.
(b) Institut dan universitas memiliki tenaga administrasi dengan jumlah minimal 6 orang, terdiri dari 1 orang berpendidikan S-1, 2 orang berpendidikan D-III, dan 2 orang berpendidikan SMTA (Lampiran Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 222/U/1998 Tanggal 7 September 1998 dan Lampiran Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0686/0/1991 Tanggal 30 Desember 1991).
Keandalan personil atau pegawai pelaksana administratif di perguruan tinggi dapat dilihat (diukur) dari kemampuannya melakukan pekerjaannya secara konsisten, akurat dan mau melaksanakan tugasnya masing-masing dengan memperhatikan prosedur dan metode yang baik dan efisien. Pegawai unsur pelaksana administratif itu juga harus memiliki performansi yang baik, yaitu menampakkan kesehatan, keramahan, kecekatan, kerapian, dan kecerdasan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Kualitas layanan pelaksana administratif juga dilihat dari dayatanggap (responsiveness) pegawai dalam melayani pemakai jasanya. Pegawai yang responsif memahami kebutuhan pihak lain dan berusaha memenuhi kebutuhannya ketika data, informasi, dan perbekalan dibutuhkan. Pengguna layanan administratif hendaknya segera dilayani, jangan sampai mereka harus menunggu lama untuk dilayani.
Dimensi kepastian kualitas pelayananan pelaksana administratif perguruan tinggi menunjuk pada gejala di mana pemakai jasa mengharapkan personil pelaksana administratif sopan dan terpelajar, menampilkan kepercayaan dan keyakinan diri dalam tindakan dan penampilannya ketika menjalankan fungsi dan tugas administratif yang menjadi tanggungjawabnya.
Sedangkan unsur empati menunjuk pada perhatian personil administrasi yang tulus terhadap para pemakai jasa dan kebutuhannya ketika mereka memberikan pelayanan administratif baik bantuan komunikasi, data, informasi, dan fasilitas kerja (harta benda) di dalam penyelenggaraan, manajemen, dan operasional perguruan tinggi.
2. Upaya yang Dapat Dilakukan Manajemen
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa menurut Edwards Deming (McLeod,1996:103) yang menentukaan kualitas adalah manajemen, dan bukan pekerja. Penulis sependapat dengan Deming karena alasan berikut: pertama, di dalam teori manajemen, manajemen atau pimpinan di dalam organisasi merupakan nahkoda yang menentukan arah atau tujuan dan kegiatan organisasi, menggerakkan pegawai, fasilitas atau semua unsur yang ada di dalamnya untuk mencapai tujuan. Kedua, karena fakta kultur organisasi di manapun, termasuk di Indonesia yang masyarakatnya bersifat paternalistik menunjukkan bahwa pekerja dan pejabat di tingkat bawah tunduk pada kebijakan pimpinan. Dengan demikian manajemen perguruan tinggi pulalah yang menentukan kualitas perguruan tinggi, termasuk di dalamnya kualitas pelayanan unsur pelayanan administratifnya.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud manajemen adalah unsur pimpinan perguruan tinggi dan pejabat yang membawahi langsung unsur pelaksana administratif di perguruan tinggi. Ini sesuai dengan tingkat-tingkat manajemen yang dikenal dalam setiap macam organisasi (McLeod,1996:8), termasuk perguruan tinggi. Pimpinan perguruan tinggi: rektor, ketua, atau direktur dan para pembantunya adalah manajer pada tingkat tertinggi pada hirarkhi organisasi perguruan tinggi. Dekan dan pembantu dekan adalah manajer tingkat menengah. Sedangkan kepala biro atau kepala bagian administrasi adalah manajer tingkat bawah yang bertanggungjawab langsung atas pelaksanaan (operasionalisasi) fungsi administratif perguruan tinggi.
a. Upaya Pimpinan Perguruan Tinggi
Pimpinan perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur) adalah penanggungjawab utama perguruan tinggi di samping melakukan arahan serta kebijaksanaan umum, juga menetapkan peraturan, norma dan tolok ukur penyelenggaraan perguruan tinggi atas dasar keputusan senat perguruan tinggi. Pimpinan perguruan tinggi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh pembantu rektor untuk universitas/institut, pembantu ketua untuk sekolah tinggi, dan pembantu direktur untuk politenik/akademi; dekan dan pembantu dekan di tingkat fakultas (PPRI Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 29 ayat 1 dan 3, serta Pasal 45).
Dikatakan bahwa manajer pada tingkat tertinggi hirarkhi organisasi berada pada tingkat perencanaan strategis (McLeod,1996:8). Penerapannya di perguruan tinggi, pimpinan perguruan tinggi mempunyai fungsi melaksanakan perencanaan strategis yang menyangkut semua unsur, termasuk perencanaan strategis bidang administrasi. Dengan demikian pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya tersebut dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan pelaksana administratif dapat melakukan hal-hal berikut :
(1) Menentukan arah, tujuan atau sasaran, kegiatan, fungsi dan tugas dari pelayanan administrasi dari setiap unit yang ada di perguruan tinggi yang menyangkut layanan informasi dan fasilitas kerja perguruan tinggi. Karena penyediaan data dan informasi menjadi sasaran kerja pelaksana administratif, maka pimpinan perguruan tinggi dapat menjadikan ketersediaan data dan informasi dari setiap unsur yang lengkap, benar, relevan, dan up to date sebagai ukuran yang harus dipenuhi oleh masing-masing pelaksana administratif. Tentang macam-macam data yang perlu ada di perguruan tinggi dapat diacu pedoman tabulasi 79 data yang menyangkut berbagai hal, keadaan, aktivitas, fasilitas, dan personil di perguruan tinggi untuk keperluan akreditasi dari Departemen Pendidikan Nasional.
(2) Menentukan dan menggerakkan kepala dan personil pelaksana administratif akan tanggungjawab mereka terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas-tugas unsur pelaksana administratif. Dalam memilih kepala biro atau kepala bagian administrasi, pimpinan perguruan tinggi harus mempertimbangkan kemampuan manajerial, hubungan manusia dan teknis administratif di samping kepangkatan kepegawaian. Sedangkan pegawai administratif juga harus dipilih orang-orang yang profesional atau berkeahlian di bidang administrasi. Untuk menggerakkan kepala dan personil administrasi dilakukan dengan pemberian gaji, tunjangan, dan insentif yang layak minimal sesuai peraturan yang berlaku.
(3) Menentukan fasilitas kerja yang bernilai strategis bagi pelaksana administratif dengan memperhatikan syarat kelengkapan, kecukupan, kebaikan, dan kesesuaian kebutuhan dan perkembangan teknologi perkantoran.
Dalam melaksanakan tugas, pimpinan perguruan tinggi dibantu oleh para pembantu, yaitu pembantu rektor untuk universitas dan institut, pembantu ketua untuk sekolah tinggi, dan pembantu direktur untuk politektik dan akademi (Pasal 29). Pembantu rektor terdiri dari pembantu rektor bidang akademik, pembantu rektor bidang administrasi umum, dan pembantu rektor bidang kemahasiswaan (Pasal 36). Di perguruan tinggi berbentuk universitas dan institut, di tingkat fakultas, dekan dibantu oleh pembantu dekan bidang akademik, pembantu dekan bidang administrasi umum, dan pembantu dekan bidang kemahasiswaan mempunyai tanggungjawab membina tenaga administrasi dan administrasi fakultas. Dekan bertanggungjawab kepada rektor (Pasal 46). Dalam struktur manajemen organisasi, dekan yang memimpin fakultas di perguruan tinggi berbentuk universitas dan institut, dapat dikategorikan berada pada manajemen tingkat menengah atau midle management yang berfungsi mengendalikan pelaksanaan keputusan manajemen di atasnya (rektor), dalam hal ini yang menyangkut usaha pimpinan universitas dan institut dalam meningkatkan kualitas pelayanan pelaksana administratif di fakultasnya masing-masing.
Pembantu ketua di sekolah tinggi terdiri dari pembantu ketua bidang akademik, pembantu ketua bidang administrasi umum, dan pembantu ketua bidang kemahasiswaan (Pasal 60). Pembantu direktur di politeknik dan akademi terdiri dari pembantu direktur bidang akademik, pembantu direktur bidang administrasi umum, dan pembantu direktur bidang administrasi kemahasiswaan (Pasal 75 dan 88).
Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan administratif, pembantu rektor, pembantu ketua, dan pembantu direktur masing-masing bidang membantu pimpinan dalam memimpin pelayanan akademik, administrasi umum, dan pelayanan kemahasiswaan (Pasal 38, 62, 77). Ini berarti bahwa melalui fungsi kepememimpinannya ini, setiap pembantu pimpinan perguruan tinggi tersebut juga menentukan kualitas pelayanan pelaksana administratif.
Sebagai pejabat administratif, setiap pembantu pimpinan harus memperhatikan dan melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan setiap satuan pelaksana administratifnya masing-masing. Pembantu pimpinan bidang akademik yang mempunyai kaitan langsung dengan biro atau bagian akademik harus terus melakukan pengarahan dengan melakukan pemotivasian, komunikasi, ketrampilan interpersonal, dinamika kelompok dan tim kerja, inovasi dan perubahan terencana sebagai bentuk pelaksanaan fungsi pengarahan atau kepemimpinannya (Schermerhorn,2000:1). Demikian pula pembantu pimpinan bidang administrasi umum harus melakukan fungsi pengarahan atau kepemimpinan tersebut kepada jajaran biro dan bagian administrasi umum yang meliputi urusan kepegawaian, keuangan, perbekalan, surat-menyurat dan kearsipan. Demikian pula pembantu pimpinan bidang kemahasiswaan juga harus melakukan fungsi memimpin tersebut atas jajaran biro atau bagian administrasi kemahasiswaan.
b. Usaha Kepala Biro dan Kepala Bagian
Kepala biro atau kepala bagian administrasi perguruan tinggi adalah pejabat yang membawahi atau mengelola langsung setiap unsur pelaksana administratif di perguruan tinggi. Kepala biro dan kepala bagian administrasi diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pimpinan perguruan tinggi. (Pasal 55,71,84, dan 97). Dengan demikian secara hirarkhis organisasi, seperti dikatakan di atas, kepala biro atau kepala bagian administrasi adalah manajer tingkat bawah yang bertanggungjawab langsung atas pelaksanaan (operasionalisasi) fungsi administratif perguruan tinggi di satuannya masing-masing kepada pimpinan perguruan tinggi. Seperti dikemukakan di atas pula, bahwa di setiap perguruan tinggi terdapat beberapa unsur pelaksana administratif seperti biro atau bagian administrasi akademik, kemahasiswaan, dan administrasi umum, dan setiap biro atau bagian dipimpin oleh seorang kepala.
Menurut pendekatan fungsi-fungsi manajemen, seorang kepala biro atau kepala bagian administrasi adalah seorang manajer yang mempunyai tanggungjawab melaksanakan fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas fungsi, tugas-tugas, pegawai, perbekalan, keuangan, dan lingkungan kerjanya; ataupun melaksanakan peran manajerial seperti peran pengambilan keputusan, informasional, dan interpersonal seperti yang dikemukakan Mintzberg (McLeod,1996:11).
Oleh karena kepala biro dan kepala bagian administrasi itu dalam tingkatan manajemen termasuk pada tingkatan operasional atau tingkat bawah (bandingkan dengan McLeod,1996:9), maka setiap kepala biro dan bagian administrasi harus lebih banyak berkonsentrasi pada tataran pelaksanaan kerja administrasi yang menjadi urusannya masing-masing seperti administrasi akademik, kemahasiswaan, dan administrasi umum sehari-hari. Artinya, mereka lebih fokus untuk mengimplementasikan kebijakan pimpinan, mengurus kebutuhan komunikasi, informasi, dan fasilitas kerja (harta benda) organisasi untuk membantu pimpinan dan unsur perguruan tinggi lainnya, dan memberikan pelayanan administrasi menurut bidang urusannya masing-masing.
Dari uraian di atas dapat dikatakan setiap pimpinan, pembantu pimpinan, dan kepala biro atau bagian administrasi perguruan tinggi menentukan tingkat kualitas pelayanan administratif perguruan tinggi melalui fungsi manajemen dan peran manajerialnya. Agar para pejabat tersebut dapat memberikan sumbangan yang optimal melalui fungsi ataupun perannya, maka mereka harus terus memelihara dan meningkatkan kemampuan manajemen dan kepemimpinannya yang dalam tulisan ini dipandang sebagai faktor-faktor yang mempunyai kaitan dengan tingkat kualitas pelayanan administratif di setiap perguruan tinggi.

a. Kemampuan Manajemen
Kemampuan manajemen adalah kemampuan yang dimiliki oleh manajer dalam menjalankan fungsi manajemen sehingga dapat menggerakkan bawahan atau pegawainya untuk melaksanakan tugas dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia dalam rangka memberikan pelayanan komunikasi, warkat dan harta benda perguruan tinggi kepada semua unsur yang ada di perguruan tinggi.
Chung dan Megginson (1981:280) mengatakan “Managership is the authority to carry out these management functions”. Kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan ini oleh Handoko (1988) disebut dengan kemampuan administratif.
Pimpinan, pembantu pimpinan perguruan tinggi dan kepala biro atau bagian administrasi perguruan tinggi harus memimiliki kemampuan manajemen, baik kemampuan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Kemampuan ini akan membuat mereka dapat menggerakkan para bawahan dan pegawainya dalam mengerahkan fasilitas untuk melaksanakan tugas pelayananan administratif kepada semua unsur di dalam perguruan tinggi dan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dengan kemampuan perencanaannya, para pimpinan perguruan tinggi dan kepala biro atau bagian administrasi dapat menyusun rencana dan program kerja harian (rutin) dan insidental sesuai kebutuhan, yang menjadi pedoman kerja bagi bawahan dan pegawainya dalam menjalankan fungsi dan tugas-tugas administratif menurut urusannya masing-masing.
Dengan kemampuan pengorganisasian, mereka dapat melakukan spesialisasi, departementalisasi, dan pendelegasian wewenang. Spesialisasi adalah pembagian pekerjaan ke dalam fungsi dan tugas yang diserahkan kepada sekelompok atau setiap pegawai sehingga setiap kelompok atau individu pegawai memiliki tugas tertentu yang harus dilakukan yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan tugas secara efektif, efisien atau berkualitas karena kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan kebiasaannya untuk melaksanakan tugas tertentu setiap hari dan terus menerus (berulang, repetitif). Departementalisasi adalah penyusunan struktur organisasi yang menghasilkan susunan organisasi, bagan struktur organisasi, hubungan kerja, sistem pertanggungjawaban dan pelaporan. Kaitannya dengan spesialisasi organisasi kantor adalah bahwa fungsi layanan administratif seperti administrasi akademik, administrasi kemahasiswaan, administrasi umum dan lain-lainnya di perguruan tinggi secara organisatoris terwadahi dalam setiap bagian sebagai satuan organisasi pelaksana administratif.
Biro atau Bagian administrasi seperti administrasi akademik, administrasi kemahasiswaan, administrasi umum dan lainnya dipimpin oleh seorang kepala dan mempunyai bawahan atau pegawai yang masing-masing mempunyai tugas-tugas administratif tertentu. Dengan kemampuan departementalisasinya ini pimpinan/kepala dapat menjamin bahwa fungsi dan tugas-tugas dari bawahan dan pegawainya dapat terlembaga, mereka mengetahui keberadaannya, fungsi dan tugasnya dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain yang ada di perguruan tinggi, di samping memahami sistem pertanggungjawaban dan pelaporan pelaksanaan tugas, yang dapat digunakan untuk menjamin kebaikan kualitas pelayanan administratif di perguruan tinggi. Di samping itu, bawahan dan pegawai bagian administrasi di perguruan tinggi akan mantap, bersemangat atau termotivasi dan penuh komitmen dalam menjalankan fungsi dan tugas-tugas pelayanannya karena secara formal mereka memiliki wewenang (otoritas). Oleh karena itu, pendelegasian atau pemberian wewenang dari pimpinan atau atasan kepada bawahan dan pegawai menjadi sarana formal dan pegangan mereka untuk melaksanakan fungsi dan tugas. Dengan demikian, kemampuan pimpinan perguruan tinggi, kepala biro atau bagian administrasi untuk mendelegasikan wewenang kepada bawahan dan setiap pegawainya menjadi faktor yang harus diperhitungkan pula dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pelayanan administratif sebab dengan wewenang yang diterimanya bawahan dan pegawai mempunyai rasa keterikatan wajib melaksanakan tugas dan bertanggungjawab.
Pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya, serta kepala biro dan bagian administrasi di setiap perguruan tinggi mempunyai tanggungjawab dan fungsi pengarahan untuk menjamin setiap bawahan dan pegawai mau (berkehendak) melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan yaitu memberikan pelayanan administratif, komunikasi, warkat, dan harta benda yang berkualitas kepada unsur-unsur di perguruan tinggi. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan memberikan pemecahan masalah teknis pelaksanaan pekerjaan kantor apabila bawahan dan pegawai mengalami kesulitan atau menemui kendala yang menghambat pelaksanaan tugas pelayanan administratif.
Sedangkan kemampuan pengawasan dari pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya serta kepala biro dan bagian administrasi diperlukan untuk memastikan dan menjamin bahwa bawahan dan pegawainya melaksanakan fungsi dan tugas pelayanan administratif dengan kualitas yang baik, seperti yang diharapkan. Kemampuan pengawasan ini tercermin dari pemahaman mereka tentang standar proses, metode dan hasil pelaksanaan tugas yang diperlukan dalam menjalankan fungsi pengawasan baik sebelum, sedang, maupun setelah pelaksanaan pekerjaan administratif. Pemahaman tentang standar kerja perlu untuk dapat melakukan evaluasi dan tindakan koreksi secara obyektif terhadap kenyataan pelaksanaan pekerjaan bilamana diperlukan.

b. Kemampuan kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang-orang lain yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Chung dan Megginson,1981:280). Pimpinan perguruan tinggi dan para pembantunya, kepala biro dan bagian administrasi perguruan tinggi perlu memiliki kemampuan kepemimpinan untuk mempengaruhi para bawahannya atau pegawai administrasi agar mereka mau melaksanakan tugas-tugas pelayanan komunikasi, warkat, dan harta benda organisasi perguruan tingginya.
Pendekatan perilaku kepemimpinan yang dikembangkan oleh The University of Michigan Studies mengidentifikasi dua perilaku pemimpin, yaitu pemimpin yang terpusat pada pekerjaan (the job-centered leader) dan pemimpin yang terpusat pada pegawai (the employee-centered leader). Sedangkan model The Managerial Grid yang dikembangkan Blake dan Mouton menggantikan dikotomi dua dimensi kepemimpinan dengan mengatakannya sebagai manajer yang menaruh perhatian pada orang (concern for people) dan produksi (concern for production) dalam rangka mencapai hasil kerja yang efektif (Chung dan Megginson,1981:286-287).
Dari studi Universitas Michigan serta studi Blake dan Mouton tersebut, dapat dikatakan bahwa perilaku pemimpin (manajer) berorientasi pada tugas dan bawahan/pegawai sebagai dimensi-dimensi dari kemampuan kepemimpinan yang perlu dimiliki oleh pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya, serta kepala biro dan bagian administrasi perguruan tinggi.
Perilaku pemimpin atau manajer kepada bawahan menunjukkan gaya kepemimpinan yang berulang-ulang diperlihatkan oleh pemimpin melalui tindakan-tindakannya kepada bawahan ketika melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Perilaku berorientasi tugas dari seorang pimpinan dapat dilihat dari perhatiannya yang tinggi dalam hal-hal sebagai berikut :
- Merencanakan dan menentukan pekerjaan yang harus dilakukan
- Memberikan tanggungjawab/tugas kepada bawahan dan pegawai.
- Menentukaan standar-standar pekerjaan yang jelas.
- Mendorong bawahan dan pegawai dalam penyelesaian tugas.
- Memonitor kinerja bawahan dan pegawai secara sungguh-sungguh.
Sedangkan perilaku berorientasi hubungan dari seorang pimpinan dapat dilihat dari perhatiannya yang tinggi dalam hal-hal sebagai berikut :
- Bersikap hangat atau akrab dan mendukung para bawahan dan pegawai (pengikut).
- Mengembangkan hubungan sosial dengan para bawahan dan pegawai.
- Menghormati perasaan bawahan dan pegawai.
- Peka terhadap kebutuhan bawahan dan pegawai.
- Menunjukkan kepercayaan pada bawahan dan pegawai.
Pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya beserta kepala biro dan bagian dari pelaksana administratif perguruan tinggi yang mempunyai perilaku berorientasi tugas dan hubungan yang tinggi, dapat membawa dampak yang tinggi pula pada kualitas pelayanan pelaksana administratif yang dilakukan para bawahan dan pegawainya. Dengan perilaku orientasi tugasnya yang tinggi, mereka mampu memberikan tugas, tanggungjawab, standar kerja yang jelas bagi bawahan dan pegawai. Dan dengan perilaku orientasi hubungan yang tinggi, mereka dapat memotivasi bawahan dan pegawainya untuk melaksanakan tugas pelayanan administratif yang berkualitas tinggi.
Oetomo (2002:7) juga menyebutkan bahwa manajer perlu memiliki visi, etika, dan kepekaan menanggapi keanekaragaman budaya. Dalam hal ini kepemilikan visi ditandai dengan pemahaman dan kemampuan pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya, serta kepala biro dan bagian administrasi untuk mengambil manfaat dari kemajuan teknologi komputer, telekomunikasi seperti internet, agar organisasinya menjadi lebih hidup dan dapat dengan cepat melakukan reaksi terhadap kenyataan, tuntutan dan perubahan yang terjadi.
Pemahaman etika oleh mereka menjadi hal penting pula karena berbagai keputusan dan tindakan yang dibuat pimpinan, pembantu pimpinan perguruan tinggi, kepala biro dan bagian administrasi memiliki pengaruh yang luas di dalam maupun di luar organisasi, dan oleh karena itu mereka harus memikirkan berbagai nilai dan etika ketika berhubungan dengan atasan, bawahan, pengguna jasa administratif, pemanfaatan penerapan teknologi informasi dan dampaknya yang akan muncul.
Pemahaman terhadap budaya atau kebiasaan dari orang-orang, atasan, teman sekerja, bawahan dan setiap pengguna jasa administratif perlu dimiliki oleh pimpinan perguruan tinggi dan pembantunya, beserta kepala biro dan bagian administrasi, sebab dengan pemahaman ini mereka dapat mempengaruhi bawahan dan pegawainya untuk dapat melayani kebutuhan administratif berbagai pihak yang membutuhkan dengan baik dan memuaskan.
C. Kesimpulan
Dari pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan pelaksana administratif di perguruan tinggi baik dari segi wujud, keandalan, daya tanggap, kepastian dan empati dalam memberikan pelayanan komunikasi, warkat, dan harta benda bagi kepentingan unsur-unsur perguruan tinggi, mahasiswa dan masyarakat, pihak manajemen perguruan tinggi dapat melakukan usaha tertentu. Manajemen perguruan tinggi yang terkait langsung dengan peningkatan kualitas pelayanan pelaksana administratif adalah pimpinan perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur) dan pembantu-pembantunya di bidang akademik, kemahasiswaan, dan administrasi umum sebagai manajer yang memiliki posisi tingkat atas manajemen perguruan tinggi; dekan dan pembantu dekan di fakultas yang berada pada manajemen tingkat menengah; serta kepala biro dan bagian administrasi yang berada pada manajemen tingkat bawah yang langsung bertanggungjawab atas operasi pelayanan administrasi perguruan tinggi.
Pimpinan dan pembantu pimpinan perguruan tinggi dapat berusaha melakukan perencanaan strategis pelayanan administratif dengan menentukan tujuan, aktivitas dan fungsi setiap satuan administrasi; menentukan kepala biro, kepala bagian, dan pegawai administrasi berikut persyaratannya; dan penentuan fasilitas yang bernilai strategis yang dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan administratifnya. Dekan dan pembantunya yang berada pada posisi manajemen tingkat menengah melakukan pengendalian pelaksanaan keputusan pimpinan universitas atau institut atas kebijakan yang menyangkut unsur pelaksana administratif perguruan tinggi di tingkat fakultas. Sedangkan kepala biro dan bagian administrasi sebagai penanggungjawab operasional pelayanan administratif perguruan tinggi dapat mengusahakan peningkatan kualitas pelayanan pelaksana administratif perguruan tinggi dengan melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian operasional; serta pelaksanaan peran pengambilan keputusan, informasional, dan interpersonal dalam tanggungjawabnya memberikan pelayanan komunikasi, warkat, dan harta benda atau fasilitas kerja yang dibutuhkan setiap unsur perguruan tinggi, mahasiswa, dan masyarakat yang dilayani sesuai bidang pelayanannya masing-masing. Kemampuan manajemen dan kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh unsur pimpinan, para pembantu pimpinan perguruan tinggi, dekan dan pembantunya, kepala biro dan bagian administrasi menentukan kualitas pelayanan unsur pelaksana administratif di setiap perguruan tinggi.




Daftar Pustaka

Chung, Kae H., Leon C. Megginson, (1981), Organizational Behavior, Developing Managerial Skills, New York, Harper & Row Publishers.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, (1999), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Handoko, Hani T., (1988), Manajemen, Yogyakarta, AMP-YKPN, BPFE.
Hornby, AS., (1986), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press.
McLeod, Raymond, Jr., (1996), Sistem Informasi Manajemen, Jilid I, Edisi Indonesia, Jakarta, PT. Prenhallindo.
Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, (2002), Perencanaan & Pembangunan Sistem Informasi, Yogyakarta, Penerbit ANDI
Sekretariat PP-BMPTSI, (1992), Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Tinggi Di Indonesia, Jakarta
Schermerhorn, John R., (2000), Manajemen, Buku 2, Edisi Bahasa Indonesia, Jhon Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd., Yogyakarta, Penerbit ANDI
The Liang Gie, (1988), Administrasi Perkantoran Modern, Yogyakarta, Penerbit Supersukses & Nur Cahaya.

EFEKTIVITAS KEARSIPAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR
YANG BERKAITAN DENGAN EFEKTIVITAS KEARSIPAN
DI SLTP DAN SLTA KABUPATEN BANTUL )
Yohanes Suraja )


ABSTRACT

This research aims to understand the factors those have correlations to the filing effectiveness at Junior high schools and senior high schools in Bantul Regency. Factors which have seen having correlation with filing effectiveness are the condition of filing equiptment, the school finance capability, the record workers’ competence, and the managementship of the clerical work manager. The data were colected by closed questionaires which were distributed to 80 schools. 74 (92,5%) of them returned the questionires, and then they have been processed by bivariat correlations from SPSS 10.0 for Windows. The output of bivariat correlation testing shows that only the managementship of the clerical work manager factor does have significant, positive, and the strongest correlation among the other factors, although its coefficient correlation is weak (.246). The other factors have positive but not significant correlations, because their correlations with the filing effectiveness are weak or very weak. Their coefficent correlations are between .053 to .204.

Kata-kata kunci : Effektivitas kearsipan, kondisi fasilitas, kemampuan keuangan, kemampuan pegawai arsip, kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha.


A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keingintahuan peneliti tentang hubungan faktor-faktor kondisi fasilitas kearsipan, kemampuan keuangan sekolah, kompetensi pegawai arsip, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha dengan efektivitas kearsipan di SLTP, SMU, dan SMK (SLTA) Kabupaten Bantul.
Penelitian mengenai kearsipan tersebut penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan sekolah. Dari pengolahan data diharapkan dapat teridentifikasi signifikansi, arah, dan tingkat hubungan antara faktor-faktor kondisi fasilitas kearsipan, kemampuan keuangan sekolah, kompetensi pegawai arsip, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha (variabel-variabel bebas) dengan efektivitas kearsipan (variabel tergantung) di SLTP dan SLTA di Kabupaten Bantul. Berdasarkan identifikasi signifikansi, arah, dan tingkat hubungan antar variabel tersebut maka akan dapat diketahui hal-hal yang perlu diperhatikan untuk diusulkan guna memperbaiki atau meningkatkan efektivitas kearsipan sekolah-sekolah di Kabupaten Bantul.
The Liang Gie (1988, 129) mengatakan masalah-masalah pokok di bidang kearsipan yang umumnya dihadapi oleh instansi-instansi ialah bertalian dengan hal-hal yang berikut :
1. Tidak dapat menemukan kembali secara cepat dari bagian arsip sesuatu surat yang diperlukan oleh pimpinan instansi atau satuan organisasi lainnya.
2. Peminjaman atau pemakaian sesuatu surat oleh pimpinan atau satuan organisasi lainnya yang jangka waktunya sangat lama bahkan kadang-kadang tidak dikembalikan.
3. Bertambahnya terus-menerus surat-surat ke dalam bagian arsip tanpa ada penyingkirannya sehingga tempat dan peralatan tidak lagi mencukupi.
4. Tata kerja dan peralatan kearsipan yang tidak mengikuti perkembangan dalam ilmu kearsipan modern sebagai akibat dari pegawai-pegawai arsip yang tak cakap dan kurangnya bimbingan yang teratur.

Banyak faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di dalam organisasi. Dari permasalahan di bidang kearsipan yang dikemukakan oleh The Liang Gie di atas dapat diidentifikasi sebab-sebab atau faktor-faktor yang terkait. Penyebab adanya permasalahan di bidang kearsipan yaitu kegiatan kearsipan yang tidak dilakukan dengan baik, peralatan yang tidak memadai, tata kerja yang tidak mengikuti perkembangan, kurangnya pembinaan dan kompetensi pegawai arsip.
Berdasarkan pendekatan sistem dan fungsional di dalam manajemen sistem informasi yang dikemukakan Ricks dan Gow (1984; 8-17) dapat dikatakan bahwa efektivitas kearsipan itu terkait dengan kondisi dari unsur-unsur sistem kearsipan, dan kemampuan manajemen kearsipan.
Kondisi unsur-unsur sistem kearsipan yang dimaksudkan meliputi kondisi input, kondisi proses atau rangkaian kegiatan kearsipan, dan output. Kondisi input terdiri dari faktor-faktor kondisi warkat, kondisi peralatan, kondisi keuangan, dan kondisi orang (pegawai, pejabat) kearsipan.
Keadaan proses atau rangkaian kegiatan kearsipan mencakup kondisi pelaksanaan kegiatan-kegiatan kearsipan dari masa penciptaan naskah, distribusi, penggunaan, pemeliharaan, penyimpanan, dan penyusutan naskah.
Kondisi output sistem kearsipan dapat dilihat dari ciri-ciri arsip yang ada. Arsip ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan kearsipan tersebut. Sutarto (1997; 200) mengemukakan ciri-ciri arsip yang baik sebagai kumpulan warkat (naskah) yang mempunyai nilai atau kegunaan, disimpan secara sistematis, dan dapat disediakan dengan cepat bilamana diperlukan.
Berdasarkan keterangan teoritis tersebut dan dugaan-dugaan di lapangan mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan, serta “karena keterbatasan waktu, dana, tenaga, teori dan supaya penelitian lebih mendalam” (Sugiyono; 1992 : 197) maka untuk kepentingan penelitian ini penulis membatasi diri pada keadaan peralatan, kondisi keuangan, kemampuan pegawai kearsipan, keadaan arsip, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha sebagai faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul.

2. Perumusan Masalah
Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
(a) Bagaimana hubungan faktor-faktor keadaan peralatan, kondisi keuangan, kemampuan pegawai kearsipan, keadaan arsip, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul?
(b) Faktor apa yang mempunyai hubungan paling erat dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul ?

3. Tinjauan Pustaka
Di dalam sistem informasi organisasi, kearsipan menjadi salah satu unsur sumber informasi. Kearsipan yang dilakukan baik secara konvensional (manual) maupun otomat dengan menggunakan jaringan komputer, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial, peran-peran manajerial dan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan organisasi. Sedemikian pentingnya kearsipan di dalam setiap organisasi, maka setiap organisasi baik pemerintah maupun swasta mempunyai kewajiban untuk melakukan pengelolaan kearsipan agar dapat memberikan kontribusi berupa informasi bagi pelaksanaan kegiatan manajerial dan operasional organisasi secara optimal.

Efektivitas Kearsipan
Efektivitas kearsipan adalah kemampuan organisasi menjamin keselamatan dan penyediaan naskah yang berisi data atau informasi yang benar, kepada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Pengertian ini sejalan dengan tujuan kearsipan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, dan tujuan sistem manajemen kearsipan yang dikemukakan oleh Ricks dan Gow (1984 : 8). Keselamatan naskah yang dimaksudkan meliputi unsur keamanan arsip dan keawetan arsip. Pada aspek ini kearsipan yang efektif menunjuk pada keadaan arsip-arsip yang terjaga keamanannya, tidak hilang, informasinya tidak diketahui oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan, dan tidak rusak atau awet secara fisik.
Terjaminnya keselamatan arsip berdampak pada terjaminnya penyediaan arsip bilamana dibutuhkan. Artinya apabila arsip-arsip di dalam organisasi itu ada, tidak hilang atau rusak maka konsekuensinya tentu akan dapat disediakan bilamana dibutuhkan. Yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyediaan kembali arsip yaitu bahwa arsip atau informasi yang benar, dapat disediakan bagi orang pejabat, pegawai, dan anggota masyarakat yang membutuhkan pada waktunya dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Keadaan jaminan kepastian penyediaan arsip bilamana dibutuhkan ini yang mestinya dapat ditunjukkan oleh setiap pengelola kearsipan.
Efektivitas kearsipan di setiap organisasi tergantung pada berbagai faktor. Faktor-faktor yang diidentifikasi mempunyai kaitan dengan efektivitas kearsipan di dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor keadaan fasilitas, kondisi keuangan, kemampuan pegawai kearsipan, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha.

Keadaan Fasilitas Kearsipan
Keadaan fasilitas kearsipan adalah kondisi yang ada berkenaan dengan kelengkapan, jumlah, dan kebaikan atau berfungsi tidaknya alat-alat yang diperlukan untuk melancarkan, membantu mempermudah pelaksanaan proses kearsipan di dalam suatu organisasi. Alat-alat kearsipan yang dimaksud meliputi map, folder, guide, filing cabinet, almari arsip, meja, kursi, berkas kotak, rak arsip, rotary filing, cardex, mesin-mesin, dan alat tulis (Wursanto; 1991 : 32). Fasilitas kearsipan yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: lengkap macamnya, jumlahnya mencukupi, dan kondisi alat dan perlengkapan itu baik (tidak rusak) sehingga fungsional, dapat dipergunakan. Apabila keadaan fasilitas kearsipan memenuhi karakteristik yang baik tersebut, maka tujuan kearsipan cenderung dapat tercapai. Sebab fasilitas yang memenuhi persyaratan demikian ini dapat melancarkan dan memudahkan pegawai arsip dalam melaksanakan proses kearsipan.

Kondisi Keuangan Organisasi /Sekolah
Faktor kondisi keuangan organisasi mempunyai kaitan dengan efektivitas kearsipan. Dikatakan oleh Ricks dan Gow (1984 : 9) bahwa uang memberikan kemampuan (sumberdaya) untuk membiayai keperluan belanja dalam perencanaan, implementasi, operasi, dan pengawasan keseluruhan administrasi kearsipan. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa kondisi keuangan menunjuk pada kemampuan organisasi untuk membiayai kegiatan, orang, dan fasilitas yang diperlukan untuk melakukan perencanaan, implementasi, operasi, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan kearsipan untuk mencapai tujuan. Kondisi keuangan organisasi tergantung pada sumber internal dan eksternal. Bagi institusi pendidikan sumber keuangan internal yaitu dari siswa (murid). Sedangkan sumber keuangan eksternalnya yaitu bantuan dari pemerintah, perusahaan, dan donatur lainnya. Jika alokasi dana keuangan untuk kearsipan besar, maka pimpinan dan pegawai kearsipan di dalam suatu organisasi dapat leluasa membiayai kebutuhan-kebutuhan bagi proses, orang, dan fasilitas kearsipan yang memungkinkan dicapainya kinerja dan tujuan kearsipan yang baik.

Kemampuan Pegawai Kearsipan
Kemampuan pegawai kearsipan merupakan faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan organisasi. Pegawai yang berkemampuan akan dapat melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Pelaksanaan tugas oleh pegawai yang kompeten dapat menjamin pencapaian tujuan kearsipan. Kemampuan pegawai yang mengurusi arsip ini meliputi kemampuan pengetahuan atau pemahaman mengenai seluk-beluk di bidang kearsipan, dan ketrampilan kerja yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan mengoperasikan fasilitas kerja di bidang kearsipan. The Liang Gie (1988 : 162) mengatakan bahwa untuk dapat menjadi petugas kearsipan yang baik diperlukan sekurang-kurangnya empat syarat yaitu ketelitian, kecerdasan, kecekatan dan kerapian. Oleh karena itu dapat dikatakan semakin tinggi kemampuan pegawai kearsipan, semakin efektif kearsipan di dalam suatu organisasi.

Kemampuan Manajerial Kepala Bagian Arsip
Faktor lain yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan didalam organisasi adalah kemampuan manajerial dari kepala bagian kearsipan. Kemampuan manajerial merupakan otoritas untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas dari orang-orang (Chung & Megginson; 1981 : 280) dalam hal ini yakni pegawai kearsipan. Kemampuan kepala bagian kearsipan untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen tersebut memungkinkan pegawai kearsipan di bawahnya menjalankan tugas-tugas kearsipan dengan memanfaatkan fasilitas kearsipan yang ada dengan efektif dan efisien.

4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
(a) Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan, arah dan tingkat keeratan hubungan antara faktor-faktor keadaan peralatan, kondisi keuangan, kemampuan pegawai kearsipan, keadaan arsip, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul ?
(b) Untuk mengetahui faktor yang mempunyai tingkat hubungan paling erat dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul ?

5. Kontribusi/Manfaat Penelitian
(a) Bagi masing-masing sekolah
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk melakukan penyempurnaan pengurusan arsip di setiap sekolah.
(b) Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembinaan kearsipan bagi pegawai tatausaha khususnya pegawai kearsipan di setiap sekolah.
(b) Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk melakukan penelitian lanjutan lebih mendalam dan mencakup sasaran lebih luas. Di samping hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengabdian masyarakat, dalam hal ini membantu sekolah-sekolah di Kabupaten Bantul memperbaiki kearsipannya.

B. Metode Penelitian
1. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
(a) Ada hubungan yang signifikan antara faktor keadaan fasilitas kearsipan, kondisi keuangan organisasi, kemampuan pegawai kearsipan, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul.
(b) Terdapat hubungan yang positif dan erat antara faktor keadaan fasilitas kearsipan, kondisi keuangan organisasi, kemampuan pegawai kearsipan, dan kemampuan manajerial kepala bagian tata usaha dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul.
(c) Faktor kemampuan pegawai arsip mempunyai hubungan yang paling erat di antara faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul.
2. Model Hubungan Variabel-Variabel Penelitian
Hubungan antara variabel-variabel penelitian ini dapat digambarkan dalam model sebagai berikut :
























3. Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah wakil dari populasi. Populasi penelitian ini adalah Bagian Tata Usaha di setiap SLTP dan SLTA di Kabupaten Bantul totalnya ada sebanyak 159 sekolah (Tabel 1.1). Masing-masing jenis dan tingkat sekolah tersebut dipandang mempunyai kebutuhan atau kepentingan pengurusan arsip yang sama dan minimal akan diambil 50% sebagai sampel. Sampel diambil secara acak, mewakili setiap jenis sekolah, baik negeri maupun swasta. Total sampel ada 80 sekolah, dan banyaknya sampel untuk setiap jenis jenjang sekolah, negeri dan swasta tertera pada Tabel 1.2 di bawah.



Tabel 1.1
Banyaknya Sekolah Lanjutan di Kabupaten Bantul
Tahun 2003

No. Sekolah Lanjutan Negeri Swasta Jumlah
1. SLTP 48 46 94
2. SMU 19 20 39
3. SMK 7 19 26
Jumlah 74 85 159
Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Bantul; 2003


Tabel 1.2
Banyaknya Sampel yang Diambil
dari Sekolah Lanjutan di Kabupaten Bantul


No. Sekolah Lanjutan Negeri Swasta Jumlah
1. SLTP 24 23 47
2. SMU 10 10 20
3. SMK 4 9 13
Jumlah 38 42 80
Sumber : Diolah dari Dinas Pendidikan Kab. Bantul; 2003


4. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari responden yaitu dari pegawai arsip atau pegawai tata usaha yang mengurusi arsip di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul secara langsung (data primer). Responden diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun, sesuai kenyataan yang dialami atau dimiliki. Jawaban pertanyaan telah disusun dan responden tinggal memilih jawaban yang menunjukkan kenyataan yang dialami.

5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut.
(a) Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Untuk pengujian validitas dan reliabilitas instrumen digunakan program analisis reliabilitas dari program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 10.0 For Windows. Pengujian validitas data tiap butir item (pertanyaan) digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir. Korelasi minimum item-skor total adalah = 0.3. Jadi kalau korelasi antara item (butir) dengan skor total kurang dari 0.3 maka butir instrumen tersebut dinyatakan tidak valid (Sugiyono; 1992 : 99), dan butir pertanyaan yang tidak valid dikeluarkan (didrop-out) dari proses analisis data. Pada output pengolah data dengan SPSS yaitu “Reliability Analysis-Scale (Alpha)” bagian “Item-Total Statistics” terdapat kolom “Corrected Item-Total Correlation”. Pada kolom ini dapat dilihat koefisien korelasi item-total item, yang menunjukkan validitas item tersebut.
Pada “Reliability Analysis-Scale (Alpha)” juga diketahui koefisien reliabilitas (Reliability Coefficients) dari sejumlah item. Reliabilitas item-item (butir-butir) pertanyaan yang digunakan untuk mengukur suatu variabel dilihat pada koefisien Alpha. Jika Alpha  .5000, berarti pertanyaan-pertanyaan yang ada pada setiap item tergolong reliabel.
Jika diketahui dari uji validitas dan reliabilitas bahwa instrumen sudah valid dan reliabel seluruh butirnya, maka instrumen dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka pengumpulan data.

(b) Uji Hipotesis
Untuk menganalisis data dalam rangka menguji hipotesis penelitian ini dilakukan uji statistik terhadap data yang terkumpul, yaitu analisis korelasi bivariat. Data diolah dengan SPSS 10.0 For Windows. Dengan korelasi bivariat diperoleh output yang menunjukkan signifikansi, arah dan tingkat korelasi antar dua variabel. Ada tidaknya hubungan antara dua variabel diketahui dari tingkat signifikansi suatu koefisien korelasi. Standar level signifikansi () untuk penelitian dengan pendekatan sampel seperti ini adalah 0.05 (5%). Jadi jika koefisien korelasi berada pada level signifikansi 5 % berarti hubungan antara dua variabel itu nyata (ada hubungan). Sedangkan jika koefisien korelasi berada pada tingkat signifikansi di atas 5%, berarti korelasi itu tidak signifikan atau tidak ada hubungan antara kedua variabel yang dimaksud. Dan, sebagai pedoman interpretasi tingkat hubungan terhadap koefisien korelasi digunakan pedoman seperti tampak pada tabel 1.3 berikut.
Tabel 1.3
Pedoman Klasifikasi Penafsiran Kekuatan Hubungan
Dari Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Korelasi Tingkat Hubungan
0.00 – 0.199 Sangat rendah
0.20 – 0.399 Rendah
0.40 – 0.599 Sedang
0.60 – 0.799 Kuat
0.80 – 1.000 Sangat kuat
Sumber : Sugiyono dan Eri Wibowo (2001 : 172)


C. Hasil dan Pembahasan
Pembahasan yang dipaparkan pada bab ini adalah pembahasan atas hasil uji hipotesis yang didasarkan pada hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan dilakukan terhadap 30 responden. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ini menunjukkan bahwa 2 (dua) dari 13 pertanyaan tentang efektivitas kearsipan yaitu pertanyaan tentang ada tidaknya informasi yang diketahui pihak lain tanpa ijin dari pengelola arsip dan ada tidaknya arsip yang rusak termasuk tidak valid. Satu (1) dari 15 butir pertanyaan tentang kondisi peralatan yaitu pertanyaan tentang tingkat kecukupan alat kearsipan yang berupa buku agenda termasuk tidak valid. Dan, tujuh (7) butir dari 14 butir pertanyaan variabel kemampuan manajerial kepala bagian arsip juga tergolong tidak valid. Butir-butir pertanyaan yang tidak valid karena koefisien korelasi item-totalnya kurang dari 0.3 tidak diikutsertakan dalam uji hipotesis. Sedangkan semua instrumen kemampuan keuangan dan kemampuan pegawai arsip yang masing-masing terdiri dari lima (5) dan 14 butir pertanyaan, semua tergolong valid, dimana koefisien korelasi item-totalnya adalah di atas 0.3.
Sedangkan uji realiabilitas instrumen penelitian ini menunjukkan bahwa semua instrumen yang berupa butir-butir pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel penelitian ini tergolong reliabel dimana koefisien Alpha dari butir-butir pertanyaan untuk kelima variabel penelitian ini adalah lebih dari 0.5.
Sedangkan uji hipotesis penelitian ini dilakukan berdasarkan data penelitian dari 74 responden (92,5%), sebab ada sebanyak 6 (enam) responden atau 7,5% tidak mengembalikan daftar pertanyaan yang disampaikan kepada mereka karena alasan hilang, lupa tidak mengisi karena banyaknya volume pekerjaan atau sengaja tidak mau menjawab/mengisi jawaban atas daftar pertanyaan meskipun telah berulangkali diusahakan pendekatan dan upaya pengambilan kembali.
Hasil (output) analisis korelasi bivariat secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1.4 berikut. Berdasarkan hasil analisis korelasi bivariat ini pembahasan pembuktian kebenaran atau kesalahan hipotesis tersebut di atas dilakukan.

Tabel 1.4
Korelasi Bivariat Pearson

X1 X2 X3 X4 Y
X1 Pearson Correlation 1.000 .421** .226 .381** .079
Sig. (2-tailed) . .000 .053 .001 .506
N 74 74 74 74 74
X2 Pearson Correlation .421** 1.000 .062 .246* .053
Sig. (2-tailed) .000 . .600 .035 .654
N 74 74 74 74 74
X3 Pearson Correlation .226 .062 1.000 .454** .204
Sig. (2-tailed) .053 .600 . .000 .081
N 74 74 74 74 74
X4 Pearson Correlation .381** .246* .454** 1.000 .246*
Sig. (2-tailed) .001 .035 .000 . .035
N 74 74 74 74 74
Y Pearson Correlation .079 .053 .204 .246* 1.000
Sig. (2-tailed) .506 .654 .081 .035 .
N 74 74 74 74 74
Keterangan : ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber : Output Analisis Korelasi Bivariat SPSS 10.0 for Windows


Tabel 1.5
Tingkat, Arah dan Signifikansi Korelasi
Faktor Kondisi Peralatan (X1), Kemampuan Keuangan (X2),
Kemampuan Pegawai (X3) dan Kemampuan Manajerial (X4)
dengan Efektivitas Kearsipan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Kabupaten Bantul
menurut 74 Responden

Tingkat Signifikansi
2-tailed Keterangan Signifikansi Tingkat Korelasi dengan Efektivitas Kearsipan Keterangan Arah dan Tingkat Hubungan
Kondisi Peralatan .506 Tidak Signifikan .079 Positif, Sangat Rendah
Kemampuan Keuangan .654 Tidak Signifikan .053 Positif, Sangat Rendah
Kemampuan Pegawai .081 Tidak Signifikan .204 Positif, Rendah
Kemampuan Manajerial .035 Signifikan .246 Positif, Rendah

Sumber : Output Analisis Korelasi Bivariat SPSS 10.0 for Windows


Berdasarkan hasil analisis data yang tampak pada tabel 1.4 dan 1.5 di atas, maka hasil uji hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Signifikansi, Arah dan Tingkat Hubungan Faktor Kondisi Peralatan dengan Efektivitas Kearsipan di SLTP dan SLTA di Kabupaten Bantul
Dari tabel 1.5 diketahui bahwa korelasi antara kondisi peralatan (X1) dengan efektivitas kearsipan (Y) di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah .506. Angka ini jauh di atas standar tingkat siginifikansi 0.05. Artinya korelasi antara kedua variabel tersebut tergolong tidak signifikan, kedua variabel secara nyata tidak berkorelasi (tidak ada hubungan). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kondisi peralatan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah tidak benar (ditolak).
Pada dari tabel tersebut juga dapat dilihat koefisien korelasi kondisi peralatan (X1) dengan efektivitas kearsipan (Y) di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah .079. Koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut positif, tetapi termasuk tingkat hubungan sangat rendah, sehingga bisa dikatakan tidak ada korelasi. Kondisi ini mencerminkan bahwa keselamatan arsip seperti ada tidaknya arsip yang hilang, ada tidaknya arsip yang isi informasinya diketahui orang yang tidak berhak, ada tidaknya arsip yang rusak dan kemampuan penyediaan arsip ketika dibutuhkan tidak ditentukan oleh kelengkapan, tingkat kecukupan, dan kondisi peralatan kearsipan seperti filing cabinet, almari arsip, rak arsip, map, ordner, briefordner, folder, alat pelobang kertas, buku atau kartu agenda, guide, klapper, papan nama, lembar disposisi dan paperklip. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kondisi peralatan (X1) dengan efektivitas kearsipan (Y) di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah benar, tetapi hubungan tersebut berada pada tingkat keeratan hubungan yang sangat rendah.

2. Signifikansi, Arah dan Tingkat Hubungan Faktor Kemampuan Keuangan (X2) dengan Efektivitas Kearsipan (Y) di Sekolah LanjutanTingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Kabupaten Bantul
Korelasi antara kemampuan keuangan (X2) dengan efektivitas kearsipan (Y) di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul berada pada level signifikansi .654, maka korelasi antara kedua variabel tersebut termasuk tidak signifikan. Kedua variabel secara nyata tidak berkorelasi (tidak ada hubungan). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kemampuan keuangan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah tidak benar (tidak diterima).
Pada tabel 1.4 dan 1.5 juga dapat dilihat besarnya koefisien korelasi antara kemampuan keuangan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul yaitu .053. Koefisien korelasi ini tergolong positif, tetapi berada pada tingkat hubungan sangat rendah (sangat lemah). Koefisien korelasi yang positif namun berada pada tingkat keeratan hubungan sangat rendah tersebut bisa dikatakan tidak ada korelasi atau tidak ada hubungan antara kemampuan keuangan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul. Efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul tidak tergantung pada kemampuan keuangan sekolah seperti besarnya kemampuan keuangan sekolah dan besarnya uang dari sumbangan murid, anggaran pemerintah, bantuan alumni dan dari sumber lain (donor). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kemampuan keuangan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah benar. Namun kenyataan bahwa di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul menunjukkan tingkat keeratan hubungan kedua variabel tersebut sangat rendah.

3. Signifikansi, Arah dan Tingkat Hubungan Faktor Kemampuan Pegawai Arsip (X3) dengan Efektivitas Kearsipan (Y) di Sekolah LanjutanTingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Kabupaten Bantul
Signifikansi korelasi antara kemampuan pegawai arsip dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah .081 (Lihat tabel 1.4 dan 1.5). Nilai signifikansi ini masih berada di atas nilai standard 0.05, berarti korelasi antara kedua variabel tersebut tidak signifikan (tidak ada hubungan). Berarti hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan pegawai arsip dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah salah.
Sedangkan koefisien korelasi antara kemampuan pegawai arsip dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah .204 (lihat tabel 1.4 dan 1.5). Koefisien korelasi ini menunjukkan adanya hubungan positif antara kedua variabel, tetapi tergolong pada tingkat keeratan hubungan yang rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk kasus di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul ini kemampuan pegawai arsip mempunyai hubungan yang rendah dengan efektivitas kearsipan. Rendahnya koefisien korelasi tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan pegawai tentang kearsipan dan ketrampilannya di bidang kearsipan tetap tinggal pengetahuan dan ketrampilan yang potensial tetapi tidak teraktualisasikan di dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan kearsipan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kemampuan pegawai arsip dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah benar, tetapi kedua variabel tersebut berada pada tingkat keeratan hubungan yang rendah (lemah).

4. Signifikansi, Arah dan Tingkat Hubungan Faktor Kemampuan Manajerial (X4) dengan Efektivitas Kearsipan (Y) di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Kabupaten Bantul
Pada tabel 1.4 dan 1.5 terlihat bahwa hubungan antara faktor kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul berada pada tingkat signifikansi .035 berarti tergolong signifikan. Maksudnya kedua variabel tersebut secara nyata berkorelasi (ada hubungan). Oleh karena itu hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah benar (diterima).
Besarnya koefisien korelasi antara faktor kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah .246 (lihat tabel 1.4 ataupun tabel 1.5). Koefisien korelasi kedua variabel tersebut menunjukkan arah hubungan positif, tetapi pada tingkat hubungan yang rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul rendah, dikarenakan kemampuan manajerial yang rendah seperti tidak dimilikinya pedoman klasifikasi arsip, tidak dimilikinya pedoman pengurusan surat/naskah masuk dan keluar, tidak adanya jadual penyimpanan arsip (jadual retensi arsip), kurangnya pendelegasian wewenang yang jelas untuk pengurusan arsip, garis komando dan pelaporan yang kurang jelas yang berkaitan dengan tugas-tugas kearsipan, kurangnya pembinaan di bidang kearsipan, dan kurangnya pengarahan jika terdapat pegawai yang kesulitan melaksanakan tugas-tugas kearsipan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah benar, tetapi tergolong pada tingkat keeratan hubungan yang rendah (lemah).

5. Faktor yang Mempunyai Hubungan Paling Erat dengan Efektivitas Kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul
Hipotesis ketiga yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah “Faktor kemampuan pegawai arsip mempunyai hubungan yang paling erat di antara faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul.”.
Berdasarkan hasil atau output dari analisis data yang dilakukan dengan korelasi bivariat SPSS 10.0 For Windows seperti terlihat pada tabel 1.4 ataupun tabel 1.5 di atas dapat dikatakan bahwa di antara koefisien korelasi-koefisien korelasi antara variabel-variabel kondisi peralatan (X1), kemampuan keuangan (X2), kemampuan pegawai arsip (X3) dan kemampuan manajerial (X4) dengan efektivitas kearsipan (Y) di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul, yang terbesar adalah koefisien korelasi antara kemampuan manajerial (X4) dengan efektivitas kearsipan (Y), yaitu .246. Sedangkan koefisien korelasi variabel kemampuan pegawai arsip (X3) dengan efektivitas kearsipan adalah .204, jadi lebih rendah daripada koefisien korelasi antara variabel kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan. Kenyataan ini membuktikan bahwa hipotesis di atas adalah salah (tidak diterima).

D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dari pengujian hipotesis atau pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa :
(a) Hanya faktor kemampuan manajerial yang terbukti mempunyai hubungan yang signifikan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul pada level signifikansi .05 (5%). Sedangkan faktor-faktor lainnya yaitu keadaan fasilitas kearsipan, kondisi keuangan organisasi, dan kemampuan pegawai tidak mempunyai hubungan yang siginifikan pada level .05, dimana tingkat signifikansinya di atas bahkan jauh di atas .05.
(b) Faktor-faktor keadaan fasilitas kearsipan, kondisi keuangan, kemampuan pegawai kearsipan, dan kemampuan manajerial mempunyai hubungan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul yang tergolong positif tetapi pada tingkat keeratan rendah dan sangat rendah.
(c) Faktor kemampuan manajerial mempunyai hubungan yang paling erat di antara faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa faktor kemampuan pegawai arsip mempunyai hubungan yang paling erat di antara faktor-faktor yang berkaitan dengan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul adalah salah (tidak benar).

2. Saran
Berdasarkan koefisien korelasi yang menunjukkan arah dan tingkat hubungan, di samping berdasarkan pada tingkat signifikansi korelasi antar variabel-variabel penelitian seperti telah dipaparkan di atas, maka untuk memperbaiki atau meningkatkan efektivitas kearsipan di SLTP dan SLTA Kabupaten Bantul disarankan hal-hal sebagai berikut :
(a) Bagi Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan Kepala Tatausaha Sekolah Kabupaten Bantul
1) Kepala Sekolah dan Kepala Tatausaha Sekolah perlu memperhatikan dan meningkatkan kemampuan manajerial di bidang kearsipan karena faktor kemampuan manajareial ini telah terbukti mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan efektivitas kearsipan. Perhatian untuk peningkatan kemampuan manajerial yang dimaksudkan dapat meliputi upaya menyusun pedoman klasifikasi arsip, pedoman pengurusan surat/naskah masuk dan keluar, menentukan jadwal penyimpanan arsip (jadwal retensi arsip), melakukan pendelegasian wewenang yang jelas untuk pengurusan arsip, menentukan garis komando dan pelaporan yang jelas yang berkaitan dengan tugas-tugas kearsipan, melakukan pembinaan di bidang kearsipan, dan pengarahan bilamana terdapat pegawai yang kesulitan melaksanakan tugas-tugas kearsipan.
2) Terhadap faktor kemampuan pegawai arsip yang menunjukkan tingkat hubungan yang rendah dengan efektivitas kearsipan, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan Kepala Tatausaha harus melakukan perbaikan dan peningkatan kemampuan pegawai menyangkut aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan kearsipan. Pengetahuan kearsipan meliputi antara lain tentang tujuan kegiatan kearsipan, buku agenda, pencatatan surat, disposisi atau pengarahan surat, kegiatan-kegiatan pengurusan arsip, macam-macam alat kearsipan dan cara-cara menggunakannya, pencatatan peminjaman arsip, dan metode penyimpanan arsip. Ketrampilan kearsipan terdiri dari kemampuan melakukan pencatatan surat atau naskah pada buku agenda atau semacamnya, kemampuan menggunakan alat-alat kearsipan, kemampuan penyimpanan arsip, dan penemuan kembali arsip.
(b) Bagi Pegawai Kearsipan
1) Pegawai kearsipan sekolah perlu memperhatikan, melaksanakan dan menggunakan rencana dan pedoman kerja kearsipan agar efektivitas kearsipan semakin tinggi (meningkat).
2) Pegawai kearsipan jangan sampai membiarkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan pengurusan arsip yang telah dimiliki sebagai kekuatan potensial yang tidak berdampak bagi efektivitas kearsipan, melainkan perlu mengaktualisasikan kemampuan-kemampuannya di bidang kearsipan tersebut dalam karya nyata sehingga berdampak positif bagi peningkatan efektivitas kearsipan sekolah.
(c) Bagi Kegiatan Penelitian Lebih Lanjut
1) Peneliti perlu mengidentifikasi faktor-faktor lain di samping keadaan fasilitas, kondisi keuangan, kemampuan pegawai arsip, dan kemampuan manajerial yang dalam penelitian ini telah diidentifikasi mempunyai kaitan dengan efektivitas kearsipan sekolah seperti motivasi pegawai, sifat-sifat personal pegawai arsip, dan budaya organisasi atau birokrasi .
2) Peneliti dapat mengkaji secara khusus hubungan atau korelasi dari dimensi-dimensi setiap faktor keadaan fasilitas, kondisi keuangan, kemampuan pegawai arsip, dan kemampuan manajerial dengan efektivitas kearsipan untuk dapat mengetahui arah, tingkat korelasi dan signifikansinya, sehingga dapat dirumuskan usulan perbaikan efektivitas kearsipan dengan lebih teliti dan spesifik.


DAFTAR PUSTAKA
Asyari, Sapari Imam, Suatu Petunjuk Praktis Metodologi Penelitian sosial, Usaha Nasional, Surabaya-Indonesia, 1981

Becker, Selwyn, Duncan Neuhauser, The Efficient Organizations, Elsevier Scientific Publishing Co. Inc., New York, 1975

Chung, Kae H., Leon C. Megginson, Orgazational Behavior, Developing Managerial Skills, Harper & Row Publishers, New York, 1981

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 1, Andi Offset, Yogyakarta, 1993

………………, Metodologi Research, Jilid 2, Andi Offset, Yogyakarta, 2000

Ricks, Betty R., Kay F. Gow, Information Resource Management, South-Western Publishing Co., Cincinnati, Ohio, 1984

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 1992

Sugiyono, Eri Wibowo, Statistika Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS 10.0 for Windows, Alfabeta, Bandung, 2001

Sutarto, Sekretaris dan Tata Warkat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997

The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern, Penerbit Supersukses & Nur Cahaya, Yogyakarta, 1988

Umar, Husein, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1998

Wursanto, Ig., Kearsipan1, Kanisius, Yogyakarta, 1991

…………….., Himpunan Peraturan Perundangan tentang Kearsipan, Kanisius, Yogyakarta, 1991